Oleh: Abu Umar Abdillah
Khalifah Abdul Malik bin Marwan telah
banyak menaklukkan negeri-negeri di berbagai penjuru negeri dan
menjadikannya daulah islamiah pada zamannya. Ibnu Asaakir dalam Tarikh
Dimasyq menyebutkan dari Abu Mashar yang mengisahkan detik-detik akhir
kehidupan sang Khalifah. Tatkala beliau sakit menjelang kematiannya
ditanya, “Apa yang Anda rasakan wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab,
“Aku mendapatkan diriku sebagaimana yang Allah firmankan:
وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَى كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَتَرَكْتُمْ مَا خَوَّلْنَاكُمْ وَرَاءَ ظُهُورِكُمْ
“Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri
sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di
belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu.” (QS. Al-An’âm: 94)
Lalu beliau mensifati kenikmatan dunia, “Sesungguhnya selama apapun
kenikmatan dunia, tetap saja singkat, dan sebesar apapun kenikmatan di
dalamnya, tetap saja hina.”
Tanpa Keluarga dan Tanpa Harta
Apa yang dirasakan oleh Khalifah Abdul Malik, mewakili setiap insan.
Manusia akan menghadap Allah sendiri-sendiri. Bermula ketika seseorang
menemui ajalnya, maka keluarga, teman dan sebagian hartanya hanya
menyertai sampai ke tempat di mana ia akan dikuburkan. Keluarga yang
disayanginya tak satupun sudi menyertainya. Mereka juga tak ingin
jenazah itu tetap tinggal bersama mereka. Meskipun dahulu di dunia ia
telah bekerja, mencari nafkah dan mencurahkan kasih sayangnya kepada
mereka. Harta yang dahulu dikumpulkannya pun akan ditinggalkan untuk
ahli warisnya. Sebagaimana ia dilahirkan tidak membawa apa-apa, seperti
itu pula kelak ia dimasukkan ke lahatnya. Jabatan yang diembannya akan
diganti orang lain. Tak ada yang tersisa untuknya selain tanggung jawab
yang akan dilaporkan kelak di akhirat. Setinggi apapun kedudukan,
tatkala mati akan sendirian, tak ada lagi karyawan atau bawahan. Firman
Allah, “dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu.” (QS. al-An’am: 94)
Mari sejenak kita mengandai, posisi kita sebagai orang yang mati itu.
Karena toh, kita juga akan mengalaminya. Pernahkah kita bayangkan,
bagaimana kelak kita menjalani hari-hari selama di alam kubur. Tinggal
seorang diri, di tempat yang sangat sempit dan gelap. Andaikan kita
terjebak di dalam lift sehari saja, kesedihan menyiksa hati. Lantas
bagaimana nasib seseorang yang terkurung di liang lahad hingga hari
dibangkitkannya ia dari kuburnya?
Betapa banyak insan yang terasing di kegelapan kubur. Hanya berkawan
siksa dan amal buruknya sewaktu di dunia. Bayangkan hidup tanpa
tersedianya makanan, tak ada cahaya, ruang sempit dan susah untuk
bergerak, bahkan untuk sekedar bernafas. Tak ada hiburan yang mengurangi
rasa galau, ketakutan dan kepedihan. Betapa banyak dari manusia yang
ingin keluar dari tempat yang sempit itu. Hanya saja, keinginannya untuk
kembali ke dunia bukan untuk melanjutkan bersenang-senang, atau
mengejar angan-angan yang belum tersampaikan. Tapi, untuk menjalani
kehidupan baru yang akan diisi dengan amal shaliah. Walhasil, semua itu
hanya angan-angan belaka. Firman Allah,
“Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia
berkata, “Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia, agar aku berbuat amal
yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak.
Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan
mereka ada dinding sampai hari mereka.” (QS al-Mukminun: 99-100)
Ada pembatas abadi antara dirinya dengan dunia yang tak mungkin bisa
kembali, dan ada batas penantian hingga hari di mana ia akan
dibangkitkan.
Jadikan Amal Shalih Sebagai Kekasih
Adalah Hatim bin al-Asham, memiliki resep jitu untuk menghindari
kesepian dan kesempitan kubur. Beliau mengatakan, “Aku perhatikan
perilaku manusia, aku dapatkan masing-masing memilikikekasih di dunia.
Namun tatkala ia masuk ke dalam kubur, sang kekasih tak turut serta.
Maka aku jadikan amal shalih sebagai kekasih, agar ia bisa menemaniku
saat masuk ke dalam kubur.”
Alangkah cerdas sikap beliau. Beliau yakin akan kabar dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ
وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ،
فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Mayit itu diikuti oleh tiga golongan, akan kembali dua golongan dan
satu golongan akan tetap menemaninya, dia akan diikuti oleh keluarganya,
hartanya dan amalnya. Maka keluarga dan hartanya akan kembali pulang
sementara amalnya akan tetap menemaninya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Hanya amal kebaikan yang bisa memakmurkan hidupnya di alam penantian.
Makin banyak amal kebaikan dilakukan di dunia, makin banyak teman dan
hiburan di dalam kubur. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa setelah seorang mukmin bisa menjawab
pertanyaan malaikat penjaga kubur, maka ia didatangi oleh teman yang
berwajah tampan, wangi aromanya, bagus bajunya seraya menyapa,
“Berbahagialah dengan karunia dari Allah dan kenikmatan yang kekal.”
Lalu di mayit menjawab, “Dan Anda, semoga Allah membahagiakan Anda
dengan kebaikan, siapakah Anda?” Tamu itu menjawab,
أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ، كُنْتَ وَاللهِ سَرِيعًا فِى طَاعَةِ اللهِ، بَطِيئًا عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا
“Aku adalah amalmu yang shalih, demi Allah, Anda adalah orang yang
bersegera dalam mentaati Allah, lamban untuk bermaksiat kepada-Nya,
semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.” (HR Ahmad)
Kuburnya akan dilapangkan sejauh mat a memandang, cahaya memenuhi ruangan, dan akan disediakan ranjang dari jannah.
Maka alangkah tepat bahasa yang dipilih oleh Hatim, “Aku jadikan amal
shalih sebagai kekasih.” Amal shalih memang menjadi kekasih sejati,
yang setia menyertai kita hingga akhir perjalanan hingga kita meraih
kenikmatan abadi. Hanya saja, menjadikannya sebagai kekasih artinya
mencintai amal shalih, betah bertemu dan menyertainya, juga selalu
merindukannya. Semoga Allah jadikan kecintaan kita kepada ketaatan, dan
benci terhadap kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan, aamiin
Sumber: http://www.arrisalah.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar