Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Ingin menyampaikan aspirasi, yang jadi pilihan untuk saat ini bagi
para pemuda dan mahasiswa adalah demonstrasi. Cobalah lihat saat ini
yang terjadi. Akibat demonstrasi besar-besaran untuk menolak kenaikan
harga BBM, akhirnya terjadi kerusakan di mana-mana. Jalanan macet,
bandara diblokir, korban jiwa berjatuhan, fasilitas rakyat rusak, dan
saling terjadi penyerangan antara mahasiswa dan aparat. Apa yang
diinginkan oleh para pemuda? Katanya ingin menyampaikan aspirasi rakyat,
namun kenapa sampai rakyat yang jadi korban? Selain kerusakan
tersebut, Islam pun telah menjelaskan kerusakan akibat demonstrasi itu
sendiri. Semoga bahasan berikut bermanfaat dan menjadi renungan bagi
orang yang cerdas yang ingin mengambil pelajaran.
Pertama:
Demonstrasi yang brutal maupun dengan cara damai telah terang-terangan
menandakan keluar dari ketaatan pada penguasa. Melakukan pembangkangan
dari ketaatan kepada penguasa adalah haram dengan kesepakatan para
ulama. Imam Nawawi rahimahullah berkata,
وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ.
“Adapun
keluar dari ketaatan pada penguasa dan menyerang penguasa, maka itu
adalah haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, walaupun
penguasa tersebut adalah fasik lagi zholim” (Syarh Muslim, 12: 229).
Kedua:
Demonstrasi adalah bentuk tidak taat pada penguasa, padahal taat
kepada penguasa itu wajib meskipun ia zholim dan fasik. Jikalau
penguasa menaikkan BBM dan itu menyengsarakan rakyat banyak, maka kita
tetap wajib taat pada mereka karena ada kemaslahatan yang besar di
balik ketaatan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَكُونُ
بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ
بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ
فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ
وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
“Nanti
setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku
(dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal,
pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya
adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.“ Aku berkata,
“Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman
seperti itu?” Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada
pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu.
Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka” (HR. Muslim no. 1847).
Dalam Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan mengenai hadits di atas,
فتبين أن الإمام الذي يطاع هو من كان له سلطان سواء كان عادلا أو ظالما
“Jelaslah
dari hadits tersebut, penguasa yang wajib ditaati adalah yang memiliki
sulthon (kekuasaan), baik penguasa tersebut adalah penguasa yang baik
atau pun zholim”
Jika ada yang membantah bahwa karena
penguasa berbuat zholim, maka harus dibalas pula dengan kezholiman atau
kekerasan. Dalil dukungan dalam syubhat ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
“Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu” (QS. Al Baqarah: 194).
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa”
(QS. Asy Syura: 40). Syubhat ini kata Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani
–ulama di masa silam dari negeri Yaman- bisa dibantah dengan kita
mengatakan bahwa dua ayat ini bersifat umum dan dikhususkan dengan dalil
yang menyatakan tetap harus taat kepada penguasa meskipun ia fasik dan
zholim. Jadi, menurut Asy Syaukani, kaedah membalas kezholiman dengan
kezholiman tidaklah berlaku untuk penguasa karena mengingat maslahat
yang besar jika tetap mentaati mereka.
Walau disampaikan nasehat seperti ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu taat kepada penguasa yang zholim, mahasiswa tetap saja tidak mau
bersabar. Tetap brutal dan membuat keonaran dalam demonstrasi. Padahal
jika mau bersabar dan taat pada mereka ketika dizholimi, maka pasti
ada kebaikan di balik itu semua.
Ibnu Abil Izz rahimahullah
berkata, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat
zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan
timbul kerusakan yang lebih besar dari kezholiman yang mereka perbuat.
Bahkan bersabar terhadap kezholiman mereka dapat melebur dosa-dosa dan
akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka
berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri
kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan
yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah
kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha
mengoreksi amalan kita” (Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381).
Ibnu Rajab rahimahullah
berkata, “Mendengar dan mentaati penguasa kaum muslimin mengandung
maslahat dunia, mudahnya urusan hamba, dan bisa menolong hamba dalam
mentaati Allah” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 117).
Ketiga:
Demonstrasi bukanlah jalan satu-satunya untuk mengajukan aspirasi
kepada penguasa. Tidak baik jika ada seribu cara untuk meraih maslahat,
namun yang dipilih adalah cara yang mengandung kerusakan. Dalam hadits
disebutkan,
ثَلاَثٌ لاَ يُغَلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ
إِخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ
وَلُزُومِ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
“Ada
tiga hal yang hati seorang muslim tidak menjadi dengki karenanya:
ikhlas beramal hanya untuk Allah, memberi nasehat kepada para penguasa,
dan tetap bersama jama’ah karena doa (mereka) meliputi dari belakang
mereka” (HR. Tirmidzi no. 2658 dan Ahmad 3: 225. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Namun
bagaimanakah cara menasehati penguasa yang dimaksud? Tentu saja dengan
cara yang tidak menimbulkan kerusakan. Jika kezholiman penguasa
dibalas dengan kerusakan pula, maka ini tentu tidak dibenarkan dalam
Islam. Karena kaedah para ulama yang telah masyhur,
الضرر لا يزال بضرر
“Kerusakan tidak boleh dihilangkan dengan kerusakan pula”.
Keempat:
Cara mengajukan aspirasi kepada penguasa adalah dengan empat mata,
bukan di depan khalayak ramai dan bukan dengan menyebarkan ‘aib penguasa
di hadapan rakyat atau media. Hal ini jelas berbeda dengan yang
ditempuh dalam demonstrasi. Kadang para demonstran mempunyai sifat
pengecut karena hanya berani jika dengan orang banyak dan tidak berani
jika hanya sendirian.
Dari ‘Iyadh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ
عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa
yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah
ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil
tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu
(yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan
nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang
menasihati)” (HR. Ahmad 3: 403. Syaikh Syu’aib Al Arnauht mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).
Cobalah lihat bagaimanakah nasehat para salaf dalam menyampaikan nasehat pada penguasa.
Ahmad
meriwayatkan dalam Al-Musnad dari Sa’id bin Jumhan bahwa ia berkata,
“Aku pernah bertemu Abdullah bin Abi Aufa. Aku pun mengadu,
‘Sesungguhnya penguasa benar-benar telah berbuat zhalim kepada rakyat!’
Kemudian dia memegang tanganku dan menggenggamnya dengan kuat. Katanya,
‘Celaka kamu Ibnu Jumhan! Kamu harus selalu berada dalam sawad a’zham (jama’ah). Kamu harus selalu berada dalam sawad a’zham
(jama’ah). Jika penguasa mau mendengarmu, datangilah di rumahnya, lalu
beritahu dia apa yang kamu ketahui. Jika dia mau menerima nasehat
darimu, itulah yang diinginkan. Jika tidak mau, kamu bukanlah orang yang
lebih tahu.’”
Termasuk cara yang keliru pula adalah mengingkari
penguasa di hadapan orang banyak lewat majelis-majelis, ketika
menyampaikan nasehat, khutbah, atau pelajaran, dan sebagainya, sementara
penguasa tersebut tidak bersama kita. Yang kedua ini adalah termasuk
ghibah (menggunjing penguasa saat ia tidak di bersama kita). Sebagaimana
seorang rakyat jelata tidak boleh dighibahi, maka begitu pula
penguasa. Allah Ta’ala berfirman menunjukkan haramnya ghibah,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang” (QS. Al Hujurat: 12).
Mengenai haramnya ghibah disebutkan pula dalam hadits berikut,
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.
قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ
فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ
اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, "Tahukah kamu, apa itu ghibah?" Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Apabila
benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu
telah mengghibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan
itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh
tanpa bukti)” (HR. Muslim no. 2589).
Sebagian orang suka
menggunjing penguasa. Jika dijelaskan bahwa hal itu tidak boleh,
biasanya berdalil dengan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sesungguhnya salah satu jihad yang paling afdhol adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zhalim” (HR. Abu Daud no. 4344, An Nasai no. 4209, dan Tirmidzi no. 2174. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ia akan mengatakan bahwa yang diucapkannya itu adalah kebenaran!
Jawabnya,
bukan haditsnya yang salah, tetapi orang yang memahaminya. Pertama,
dalam hadits ini disebutkan “di hadapan”, artinya di depan penguasa dan
ketika bersamanya, bukan ketika tidak bersama penguasa. Kedua, hadits
ini tidak menunjukkan supaya mengingkari penguasa dengan cara
terang-terangan atau dengan cara mengghibahnya. Hadits ini menjadi jelas
jika dipahami bersama hadits ‘Iyadh yang menyebutkan adanya tuntutan
menyampaikan nasehat dengan cara sembunyi-sembunyi.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Riyadh, KSA, 7 Jumadal Ula 1433 H
Sumber: www.remajaislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar