Oleh Ust DR Ahmad Zain An Najah MA
Alhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ba’du :
Umat
Islam mencapai kejayaannya, manakala para generasinya bekerja keras,
tanpa kenal lelah untuk menggapai cita-citanya. Hal ini terbukti pada
zaman keemasan Islam di mana para ulama telah menorehkan berbagai karya
agung yang mereka toreh dengan keringat, air mata dan darah mereka.
Karya-karya besar mereka sebagiannya sudah sampai kepada kita, sehingga
kita bisa ikut merasakan manfaatnya yang begitu besar khususnya di
dalam memahami ajaran agama kita.
Sebagai generasi yang datang
terakhir, hendaknya kita mengambil pelajaran dari karya-karya tersebut,
bagaimana mereka menorehnya, bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan
yang besar tersebut, padahal kemampuan mereka sebagai manusia bisa
dikatakan sama dengan kemampuan kita. Tetapi mereka bisa
membuktikannya, sedang kita belum bisa membuktikannya. Apa yang
membedakan antara mereka dengan kita ? Bukankah mereka adalah manusia
yang juga makan dan minum sebagaimana kita makan dan minum ? Bahkan
pada masa mereka sarana kehidupan sangat sederhana dan terbatas, sedang
sarana kehidupan kita saat ini sangat banyak, beragam dan serba
canggih ?
Dalam tulisan berikut ini, akan kita temukan bahwa
mereka mampu berkarya, karena mereka mempunyai kemauan yang kuat dan
cita-cita yang tinggi. Mereka benar-benar mengejar cita-cita tersebut
dengan keringat, air mata dan darah. Mereka tinggalkan segala bentuk
kesenangan yang membuaikan dan meninakbobokan, mereka tiggalkan segala
bentuk permainan dan senda gurau yang melupakan, mereka tinggalkan
segala bentuk kegiatan yang tidak mendukung cita-cita mereka. Mereka
kerahkan seluruh potensi yang ada di dalam diri mereka, mereka bekerja
semaksimal dan seoptimal mungkin. Mereka sangat menghargai waktu, detik
demi detik, menit demi menit, jam demi jam untuk meraih cita-cita
tersebut.
Tiada kata berhenti di dalam hidup mereka, tiada kata
istirahat di dalam kegiatan mereka. Mereka terus bekerja, bergerak dan
berkarya sampai ajal menyemput mereka. Salah seorang dari mereka, yaitu
Imam Ahmad ketika ditanya oleh kawan-kawannya ; “ Wahai Imam…kenapa
anda terus menerus belajar ? kenapa tidak istirahat sejenak ? “ .
Beliau menjawab : “ wahai teman, istirahatnya nanti ketika kita di
syurga “
Tak ayal karya-karya mereka telah memenuhi bumi ini,
bagaikan udara yang memenuhi seluruh ruangan. Ibnu Aqil salah satu dari
mereka yang memiliki karya tulis yang beraneka ragam dan yang paling
spektakuler adalah kitab “ Al-Funun “, sebuah ensiklopedia yang
memuat beragam ilmu yang sangat berharga, terdapat di dalamnya
berbagai macam nasehat, tafsir, fiqih, ushul fiqih, aqidah, bahasa
Arab, sya’ir, sejarah, bahkan juga hikayat. Kitab “ Al-funun
“ ini terdiri dari 800 jilid. Kitab ini hanya salah satu karya beliau
saja. Beliau juga mempunyai karya-karya lain yang sangat banyak. .
Berkata Imam Ad- Dzahabi : ” Belum ada buku di dunia ini yang lebih
tebal dari buku ” Al Funun ” .
Lain lagi dengan Ibnu
Jauzi, seorang ulama yang menulis berbagai bidang ilmu dan buku-bukunya
yang sangat banyak menghiasi perpustakaan Islam. Dalam kitab Tatimmatul Mukhtashor fi Akhbaril Basyar,
Ibnul Warid mengatakan : “ Bila lembaran-lembaran buku yang berhasil
ditulis oleh Ibnul Jauzi dikumpulkan, lalu dikalkulasi dengan umur yang
beliau miliki, maka ditetapkan bahwa beliau menulis dalam sehari
sebanyak sembilan buah buku seukuran buku tulis.” Diceritakan juga
bahwa bekas rautan pena Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air
yang dipakai untuk memandikan mayat beliau, itupun masih tersisa.
Setelah diadakan kalkulasi judul-judul tulisannya, ternyata karya Ibnul
Jauzi mencapai 519 buku. Al-Muwafiq mengatakan bahwa Ibnul Jauzi
senantiasa menulis dalam sehari setara empat buku tulis.
Seorang ulama mutakhirin Imam Muhammad bin Ali, atau yang lebih terkenal dengan Asy-Syaukani, pengarang kitab “ Nailul Authar
“ adalah seorang ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul
fiqh. Beliau dilahirkan pada tahun 1173 H di daerah Syaukan bagian dari
wilayah Yaman, dan wafat tahun 1250 H. Beliau mewariskan 114 karya
tulis.
Imam Abdul Hayyi Al-Laknawi Al-Hindi yang baru wafat
sekitar 100 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1304 H. Dalam umurnya
yang ke 39 tahun, tulisan beliau telah mencapai 110 kitab.
Syaikh
India Maulana Hakimatul Ummah Asyraf Ali At-Tahanawi, yang wafat tahun
1362 H dalam usia 81 tahun. Beliau telah menghasilkan 1000 buah karya.
Kisah-kisah
di atas menunjukkan kepada kita betapa besar dan banyaknya karya tulis
mereka. Bisakah kita sebagai generasi penerus mengikuti jejak mereka ?
Menulis Apa Yang Ada Di Benak
Para
ulama menulis apa saja yang mereka dapatkan, dan menulis apa saja yang
mereka miliki. Mereka tidak mau ilmu yang pernah mereka dapatkan
berlalu begitu saja. Bahkan apa yang terlintas di dalam benak mereka,
segera mereka tulis jangan sampai hilang, karena di dalamnya mengandung
ide-ide yang cemerlang, sayang kalau dibuang begitu saja, karena
kadang-kadang ide-ide tersebut tidak datang lagi. Lihat umpamanya
Imam
Bukhori, beliau pernah bangun dari tidurnya di suatu malam. Dia pun
menyalakan lampu dan mencatat ilmunya yang terlintas di benaknya, lalu
ia mematikan lampu kembali. Kemudian ia bangun lagi dan melakukan hal
yang sama. Demikian, sampai hal itu terjadi kurang lebih dua puluh
kali.
Muhammad bin Yusuf berkata, “Suatu malam, aku berada di
rumah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhori. Aku memperhatikannya bangun,
lalu ia menyalakan lampu untuk mengingat sesuatu, dan mencatatnya
sebanyak delapan belas kali.”
Isma’il bin Ayyasy salah seorang
ulama besar, ketika sedang sholat, beliau sempat menghentikan
shalatnya, sekedar untuk menulis hadits. Beliau bercerita : “
Saat itu aku sedang shalat, maka aku pun membaca beberapa ayat. Lalu
aku teringat sebuah hadits dalam salah satu bab yang aku keluarkan.
Maka aku pun menghentikan shalat, lalu aku segera menulisnya, dan
kemudian aku kembali shalat.”
Suatu ketika Syaikh
Alauddien masuk ke kamar mandi yang berada di pintu Az-Zahumah. Ketika
di pertengahan mandi, beliau beranjak ke ujung kamar mandi tempat
melepas pakaian pakaian. Beliau minta diambilkan tinta, pena dan
kertas. Lalu beliau langsung menyusun tulisan dalam soal denyut nadi
hingga selesai. Setelah itu beliau kembali ke kamar mandi dan
menyempurnakan mandinya.”
Luar biasa bukan ? Bisakah kita mengikuti jejak mereka ? Saya teringat dengan kata-kata pepatah orang-orang dahulu :
إذا كانت النفوس كبارا تعبت في مرادها الأجسام
“ Jika jiwa itu mempunyai cita-cita tinggi Maka badan ini akan capai mengikuti kemauannya. ”
Kapan Mereka Menulis ?
Ketika
kita mendapatkan karya para ulama yang begitu banyak dan menakjubkan,
kadang-kadang timbul rasa penasaran di dalam benak kita : “ Kapan dan
bagaimana mereka menulis “ ? Padahal kalau dilihat dari umur dan
kesibukan mereka mengajar, sepertinya tidak mungkin mereka berkarya
sebanyak itu, bahkan sebagian ulama jika dibandingkan banyak
karya-karyanya dengan umur yang mereka miliki rasanya tidak sebanding,
bahkan bisa dikatakan mustahil.
Tetapi setelah ditelusuri
kehidupan mereka secara lebih mendetail, ternyata mereka telah
menggunakan waktu mereka sebaik mungkin, mereka tidak rela sedetik
waktu yang mereka miliki dibuang sia-sia tanpa ada kegiatan menulis.
Marilah kita tengok sebagian dari keahlian mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk berkarya dan menulis .
Di Dalam Perjalanan.
Perjalanan
banyak menyita waktu di dalam kehidupan manusia. Bahkan kehidupan di
kota-kota besar seperti Jakarta, yang terkenal dengan kemacetannya.
Membuat banyak orang stress, karena mereka harus berangkat kerja pagi-
pagi benar, kemudian malam baru bisa pulang, mereka sering terjebak
dalam kemacetan panjang, yang membuat umur mereka habis di jalan. Kapan
mereka akan menulis dan berkarya ?
Para ulama tidak mau kenal
menyerah di dalam menempuh cita-cita mereka, di dalam perjalananpun
mereka menyempatkan diri untuk berkarya dengan menggoreskan pena-pena
mereka, mengukir ilmu, mewariskan banyak manfaat untuk kehidupan
manusia.
Sa’id bin Jubair, seorang tabi’in yang wafat tahun 95 H pernah berkata : “Aku
berjalan bersama Ibnu Abbas di suatu jalan di Mekkah di malam hari.
Beliau menyampaikan hadits kepadaku, dan aku menulisnya di tengah pelana
unta. Sehingga datanglah waktu pagi, lalu aku menulisnya kembali.”
Sementara
itu Ibnu Qayim al Jauziyah, konon di dalam perjalanan hajinya bisa
menyelesaikan buku yang spektakuler tentang kehidupan dan petunjuk
seorang nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam yang diberinya
judul “ Zaadul Ma’aad “ Buku ini terdiri dari enam jilid besar.
Suatu
ketika seorang ulama Timur Tengah kontemporer yang hingga kini masih
hidup. Dr. Yusuf Qardhawi datang ke Indonesia, dan ditanya tentang
tulisan-tulisannya yang begitu banyak, sampai-sampai yang sudah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia mencapai 40 buku lebih. Beliau
ditanya kapan menulis buku-bukui tersebut, beliau menjawab : “ Di dalam perjalanan dari rumah ke kantor, atau dalam perjalan menuju ke tempat-tempat lain. “.
Pada
1950, Buya Hamka mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah
menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan ini
ia mengarang beberapa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di
Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.
- Anda juga bisa seperti mereka, ketika anda punya sopir pribadi, maka dalam perjalanan anda bisa mengetik dengan laptop atau alat tulis yang lebih kecil. Begitu juga ketika anda dalam perjalanan menggunakan angkutan umum seperti bis dan kereta, apalagi pesawat, jangan biarkan anda melamun atau bengong, tapi gunakanlah untuk membaca atau menulis. Kebanyakan orang sekarang mengisi kekosongan mereka dalam perjalanan dengan bermain hp dan membuka internet, kenapa anda tidak gunakan untuk berkarya dan menulis ? Di tengah-tengah kemacetan kenapa anda tidak memnafaatkan untuk membaca, menghafal, merenung, berfikir, serta mencari ide-ide cemerlang ?
Mengurangi Waktu Makan
Manusia
hidup perlu makan. Tapi kadang proses untuk dapat makanan banyak
menyita waktu seseroang. Lihatlah ibu-ibu yang harus belanja
sayur-sayuran ke pasar, beberapa jam mereka di pasar, kemudian setelah
pulang mereka harus mengolahnya kemudian memasaknya. Berapa jam mereka
membutuhkan waktu itu semua ? Bukankah untuk menyediakan makanan menyita
banyak waktu dari hidup kita ? Kapan ibu-ibu itu punya waktu untuk
menulis jika pekerjaan seharian terus-menerus seperti itu ? Adakah
cara yang lebih praktis dan efesien untuk mendapatkan makanan, sehingga
sisa waktunya bisa dipakai untuk menulis dan berkarya ?
Para
ulama mempunyai trik-trik sendiri untuk menghindari makan yang banyak
menghabiskan waktu. Sebagai contoh kita dapatkan Ubaid bin Ya’is
teryata untuk efesien waktu, beliau tidak pernah makan dengan kedua
tangannya sendiri. Beliau selalu disuapi saudaranya perempuan selama 30 tahun, karena sibuk menulis.
Ibnu
Suhnun, seorang ulama Malikiyah yang sangat terkenal tersebut juga
sering disuapi budaknya, karena tidak ada waktu untuk makan. Beliau
sedang sibuk menyusun buku.
Diriwayatkan juga bahwa Abu Al Wafa’
bin Uqail Al Hambali adalah seorang ulama dari madzhab Hambali yang
sangat ketat di dalam menjaga waktunya. Jika mulut , lidah , dan
matanya capai karena banyaknya yang dibaca, dia terdiam merenung dan
merancang apa saja yang perlu ditulis, maka ketika ia duduk atau
berbaring, kecuali beliau telah menghasilkan banyak hal-hal yang bisa
dicatat dalam buku. Bahkan beliau memilih-milih makanan yang paling
praktis dan cepat dimakan, untuk kemudian sisa waktunya digunakan untuk
membaca dan menulis.
- Diriwayatkan bahwa beliau memilih roti yang agak basah dari pada roti yang kering. Tentunya waktu untuk mengunyah roti yang basah jauh lebih sedikit dibanding waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah roti yang kering. Jeda waktu antara keduanya bisa beliau manfaatkan untuk membaca dan menulis. Subhanallah, tidak kaget kalau karya-karya beliau sampai 800 jilid lebih.
Di Pengasingan dan Penjara
Imam Syamsudin As-Syarkhasi telah mampu menulis kitab “ Al Mabsuth “,
sebuah buku spektakuler yang dijadikan rujukan ulama Hanafiyah. Buku
ini terdiri dari 30 jilid besar, kebetulan saya mempunyai buku tersebut.
Beliau menulis buku tersebut di dalam penjara dengan cara mendiktekan
kepada murid-muridnya. Beliau dimasukkan penjara karena memberikan
nasehat kepada salah satu penguasa pada waktu itu.
Ibnu Taimiyah
sering keluar masuk penjara, karena menyampaikan kebenaran apa adanya,
banyak orang yang hasad kepadanya. Beliau difitnah sehingga dijebloskan
penjara oleh penguasa. Selama di dalam penjara, beliau manfaatkan
untuk menulis. Tatkala beliau dijebloskan kembali ke dalam penjara yang
berada di dalam benteng selama dua puluh bulan lebih, beliau dilarang
untuk menulis dan menelaah kitab. Orang orang yang hasad dengan beliau
tak membiarkan ada buku tulis maupun tinta di sisi beliau, karena
tulisan-tulisannya bisa mempengaruhi banyak orang. Beliau dalam keadaan
seperti itu beberapa bulan lamanya, sehingga beliau mulai
berkonsentrasi untuk beribadah dengan membaca al-Qur’an, sholat
tahajjud, serta berdzikir hingga beliau wafat.
Konon Buya Hamka,
tokoh kelahiran Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908, ini hanya
sempat masuk sekolah desa selama tiga tahun dan sekolah-sekolah agama
di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) selama kurang lebih
tiga tahun. Pada 27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh pemerintahan
Soekarno. Dalam tahanan Orde Lama ini ia menyelesaikan kitab Tafsir
al-Azhar (30 Juz). Ia keluar dari tahanan setelah Orde Lama tumbang..
Nama beliau dikenal luas berkat karya-karyanya. Tafsir yang beliau beri
nama Tafsir Al Azhar tersebut sekarang menjadi rujukan masyarakat
Indonesia dan Malaysia.
Sayyid Quthb, seorang tokoh Muslim yang
juga berhasil menyelesaikan penulisan tafsir Alquran Fi Dzilalil Qur’an
di dalam penjara.
Di Waktu Sepertiga Akhir Malam
Malam
hari, khususnya sepertiga akhir malam merupakan waktu yang penuh
barakah. Oleh karenanya, kita diperintahkan bangun dari tidur untuk
melaksanakan sholat tahajud dan bermunajat kepada Allah swt. Para
ulama menyebutkan jika seseorang bangun malam diberi dua pilihan antara
sholat atau belajar.
Imam Al-Mufassir Abu Tsana’ Syihabuddin
Mahmud bin Abdullah al-Alusi Al-Baghdadi, seorang mufti sekaligus
penutup para ahli tafsir, lahir pada tahun 1217 H dan wafat tahun 1270
H. Di setiap akhir malam beliau memanfaatkan untuk menulis lembaran
demi lembaran tentang tafsir. Sehingga, pada keesokan pagi harinya,
tulisan itu beliau serahkan kepada para juru tulis yang ditugaskan
dirumah beliau. Mereka tidak mampu menyelesaikan tulisan itu secara
baik, kecuali dalam rentang waktu sepuluh jam. Beliau terus saja
menulis hingga saat sakit beliau yang terakhir.
Antara Sholat Lima Waktu
- Allah Ta'ala telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melaksanakan sholat dalam lima waktu yang terpisah-pisah dalam satu hari. Barangsiapa yang mampu memanfaatkan waktu-waktu tersebut insya Allah akan diberkati amalannya. Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi telah berhasil memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk menulis. Setelah shalat shubuh , beliau mengajarkan al-Qur’an atau terkadang mengajarkan hadits. Lalu beliau berwudhu dan shalat sebanyak 300 rakaat dangan membaca al-fatihah dan mu’awwadzataini, hingga mendekati waktu dzuhur. Kemudian, beliau tidur ringan, lalu bangun untuk shalat dzuhur, dan kemudian sibuk menyimak atau menyalin tulisan hingga datang waktu maghrib.”
Menggunakan Sarana Yang Terjangkau
Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam kitabnya Al-Intiqa fi Fadha’ilits Tsalasatil A’immatil fuqaha’
dengan sanadnya yang sampai kepada Imam Syafi’I, bahwa Imam Syafi’I
menuturkan, “Aku tidak mempunyai harta. Aku menuntut ilmu dalam usia
muda yaitu sebelum 13 tahun . Aku pergi ke kantor meminta kertas bekas
untuk menulis.” Maksudnya, kertas
bekas yang sebelahnya telah dipakai dan sebelahnya belum terpakai.
Kemiskinan tidaklah menghalangi beliau, untuk terus menulis ilmu.
Sehingga beliau termasuk Imam Madzhab yang paling banyak karyanya
dibanding dengan ketiga imam madzhab yang lain.
Menulis
tidak harus menunggu punya computer atau laptop, menulislah di
buku-buku tulis, atau di kertas-kertas bekas, sebagaimana para ulama
menulis. Menulis dengan bulpen, dengan pencil, dengan spidol, dengan apa
saja, yang penting anda menulis.
Menulis Sambil Makan
Al-Hafidz Dzahabi berkata di dalam Tsadzkiratul Hufadz, tentang
biografi Al-Hafidz Abu Bakar Abdullah Bin Imam Al-Hafidz Abu Daud
As-Sijistani, ia berkata, “Aku memasuki kota kuffah dan hanya mempunyai
uang satu dirham. Dengannya aku membeli 30 mud kacang-kacangan . Aku
makan darinya dan menulis hadits dari Al-Asyaj –yakni Abdullah bin Sa’id
Al-Kindi, ahli hadits kuffah-. Kacang-kacangan tersebut belum habis,
hingga aku mampu menulis darinya 30.000 hadits , baik yang maqthu’ maupun yang mursal.”
Al-Barqani
menuturkan, “ Aku memasuki kota Isfirayin, sedangkan aku berbekal uang
tiga dinar dan satu dirham. Tiga dinar tersebut hilang, dan yang
tersisa hanyalah satu dirham. Aku memberikannya kepada tukang roti.
Setiap harinya aku menerima darinya dua potong roti. Aku mengambil satu
jilid buku dari Bisyr bin Ahmad, lalu aku menyalinnya dan
menyelesaikannya di petang hari. Aku telah menyalin 30 jilid kitab,
sedangkan jatahku dari tukang roti telah habis. Maka, aku pun
melanjutkan melanjutkan perjalanan.”
Menulis Cepat
Abu Isma’il Al-Anshari berkata : ” Seorang ahli hadits harus memiliki sifat cepat dalam berjalan, cepat dalam menulis, cepat dalam membaca.” Perlu ditambah satu lagi, yaitu cepat dalam makan.
Kenapa harus cepat berjalan ? Karena dengan cepat berjalan, waktu akan
lebih efesien dan lebih cepat sampai kepada tujuan. Bisa diartikan
lebih cepat kepada syekh atau guru, sehingga ilmu yang akan di dapat
lebi banyak. Untuk zaman sekarang, bisa diterapkan dengan menggunakan
pesawat, walaupun mahal sedikit, tapi bisa efesien waktu, apalagi di
dalam perjalanan bisa dimanfaatkan untuk menulis.
Kenapa harus
cepat menulis ? Karena seseorang yang bisa menulis cepat, berarti dia
bisa menulis lebih banyak, sehingga menjadi produktif. Oleh karenanya
dianjurkan bagi siapa saja yang ingin menulis, hendaknya dia menulis
yang ada di dalam benaknya dan yang ia kuasai. Jika ingin menambahkan
dari beberapa referensi, hendaknya mencari referensi yang terjangkau
dan mudah dipahami, sehingga tidak menghambat proses penulisan.
Kenapa
harus membaca cepat ? Karena dengan membaca cepat, maka maklumat yang
ia dapatkan jauh lebih banyak, sehingga membantunya untuk mempercepat
tulisannya. Karena tulisan seseorang tergantung kepada maklumat yang
dimilikinya.
Kenapa cepat dalam makan ? Kalau seseorang bisa
makan cepat, waktu yang tersisa bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang
bermanfaat, terutama membaca dan menulis. Di bawah ini dijelaskan
bagaimana para ulama yang produktif, ternyata mereka menulis dengan
cepat.
Imam Burhanuddin Ibrahim Ar-Rasyid berkata,
“jika Ala’ bin Nafis ingin mengarang sebuah kitab, maka beliau pun
meletakkan pena-pena yang telah dirautnya, lalu beliau berputar
menghadapkan wajahnya kearah dinding. Kemudian beliau menulis dari
berbagai ide yang terbetik dalam benaknya. Beliau menulis ibarat air
yang mengalir. Bila penanya tumpul dan tidak jelas tulisannya, maka
beliau mencampakkannya dan menggunakan yang lainnya, agar waktunya
tidak terbuang untuk meraut pena yang tumpul .
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam usia 57 tahun adalah beliau menghasilkan
sekitar 500 jilid karya tulis. Beliau mampu mengarang dalam sehari
sebanding dengan jumlah lembar tulisan seorang juru tulis pada zaman
itu yang ditulis selama sepekan atau bahkan lebih banyak lagi. Biasanya
saat menyampaikan fatwa, beliau mampu menulis sejumlah masalah dangan
tulisan yang sangat cepat, disertai penjelasan dan penjabaran hal-hal
yang sulit.
Dalam sehari semalam beliau mampu menulis masalah
tafsir atau fiqih, atau masalah-masalah ushul fiqih, ushul kalam, dan
tauhid, atau memberikan bantahan terhadap kalangan filosof dan ahli
takwil, sekitar empat buku tulis atau lebih. Maka tak berlebihan jika
karya beliau hingga sekarang mencapai 500 jilid. Dalam sejumlah
masalah, beliau memiliki karya tersendiri. Beliau seorang yang pandai
menulis secepat kilat dan laksana hujan deras yang tak henti-hentinya.
Beliau
mampu menulis tentang satu masalah hingga tak ada batasnya. Beliau
mampu menulis dua atau tiga lembar dalam sekali duduk. Syaikh Ibnu
Qoyyim telah menulis sebuah risalah yang berisi nama-nama karya Ibnu
Taimiyah, hingga mencapai 22 halaman.
Adalah Al- Khatib Al Baghdadi pernah berkata : ”
Saya mendengar dari Al-Simsi yang menceritakan bahwa Ibnu Jarir At
Tobari selama 40 tahun, menulis setiap harinya 40 lembar . Bahkan salah
seorang murid Ibnu Jarir yang bernama Al Farghani mengatakan bahwa
para murid Ibnu Jarir telah mendata kehidupan beliau sejak baligh
hingga meninggal dunia pada umur 86 tahun. Kemudian mereka mengumpulkan
seluruh karya-karya beliau, dan jika dibandingkan dengan umur beliau,
ternyata didapatkan bahwa beliau menulia setiap harinya 14 lembar. Dan
ini tidak akan mampu dilakukan oleh seseorang kecuali atas inayah Allah
Ta'ala. Dan jika dihitung-hitung lembaran karya tulisnya maka
didapatkan jumlahnya sekitar 358.000 lembar. Wallahu A’lam
(Sumber:http://www.ahmadzain.com/read/penulis/268/bahtera-pena-para-ulama/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar