Tidak sedikit mereka yang disebut atau menyebut dirinya sebagai aktifis
dakwah, lantang menyerukan syariat islam, gigih menjaga adab pergaulan
dan ketat dalam menutup aurat kemudian menjadi luntur seketika saat
mereka melakukan pernikahan. Acara pernikahan menjadi momen yang
membolehkan hal-hal yang semula dipegang teguh oleh para aktifis dakwah,
seperti tidak ikhtilat dan tidak tabarruj (bagi akhawat).
Pengalaman saya menghadiri undangan walimah para aktifis dakwah, sangat sedikit sekali dari mereka yang tetap menjaga atau memegang teguh apa yang mereka dakwahkan. Tiba-tiba di atas pelaminan mereka menjadi sosok yang sangat berbeda, bukan sosok aktifis dakwah yang sehari-hari saya kenal. Sosok aktifis yang tidak mengenal tabarruj, pada hari pernikahan justru berdandan dengan sangat berlebihan, muka dibedaki sebanyak 5 lapisan, pipi, bibir dan kelopak mata diberi warna-warna mencolok, alis dicukur dan tidak ketinggalan bulu mata palsu. Tidak hanya tabarruj, jilbab yang semula selalu lebar dengan pakaian yang menutup rapat seluruh aurat tiba-tiba saat pernikahan berubah menjadi jilbab minimalis dengan pakaian pengantin (umumnya kebaya) ketat menonjolkan aurat yang sebelumnya tertutup rapat.
Bahkan ada seorang ukhti yang saya kenal sebagai pentolan aktifis dakwah kampus, memegang segudang amanah dan mempunyai banyak binaan membiarkan wajah dan tubuhnya didandani oleh perias Waria yang sejatinya adalah laki-laki. Lebih parah lagi, seorang teman saya bercerita ada seorang ukhti yang membuka jilbabnya saat ia menikah. Seorang ustadz juga pernah bercerita ketika beliau menghadiri walimah pasangan aktifis, pengantin perempuan menggunakan jilbab berwarna hitam yang dimasukkan ke bajunya sehingga yang tampak hanya bentuk kepalanya, kemudian di atas jilbab hitam itu dililitkan ronce melati sehingga tampak seperti tidak menggunakan jilbab.
Dalam mengatur tamu pun sebagian para pengantin aktifis ini tidak memisahkan antara tamu lelaki dengan tamu perempuan seperti yang mereka lakukan ketika mengadakan acara-acara pengajian, rapat, seminar ataupun demonstrasi. Hari pernikahan seolah menjadi dispensasi untuk membolehkan apa yang tidak boleh, toh sekali seumur hidup.
Sungguh amat sangat disayangkan. Padahal bila kita menyadari, momen pernikahan adalah juga merupakan syiar islam yang seharusnya ditegakkan oleh mereka para aktifis dakwah. Acara pernikahan yang dilaksanakan secara syar’i sesungguhnya dapat menjadi teladan bagi para tamu undangan yang hadir pada saat itu. Pernikahan seorang aktifis dakwah seharusnya bukan pernikahan biasa. Saya sangat menyesalkan bila proses menuju pernikahan yang telah dilakukan dengan begitu islami dari ta’aruf kemudian khitbah, pada akhirnya hanya menjadi sebuah acara pernikahan biasa layaknya pernikahan masyarakat pada umumnya, padahal hanya kurang satu langkah lagi menuju sempurna.
Bila bukan para aktifis dakwah yang mengenalkan tata cara pernikahan secara islami melalui acara pernikahan mereka kepada masyarakat, lalu siapa lagi…?
Permasalahan yang sering terjadi di kalangan aktifis adalah terlalu sibuknya mereka dengan begitu banyak agenda dakwah sehingga tidak punya waktu untuk melakukan pendekatan pada keluarga akan hal ini, bahkan tidak sedikit yang melakukan pemberitahuan secara mendadak pada orang tua bila mereka ingin menikah tanpa memberikan pembelajaran sebelumnya mengenai bagaimana tata cara pernikahan dalam islam sejak ta’aruf, khitbah, hingga acara pernikahan itu sendiri. Sehingga dapat dipastikan keluarga akan menolak mentah-mentah bila tata cara pernikahan berbeda dengan apa yang telah umum di masyarakat, akibatnya mereka akan memaksa sang anak melakukan seperti apa yang mereka kehendaki.
Oleh karena itu hendaknya para aktifis ketika memutuskan menikah tidak hanya mempersiapkan diri mereka secara lahiriah dan batiniah akan tetapi juga mempersiapkan keluarga mereka terutama kedua orang tua.jauh-jauh hari sebelumnya.Bukankah berdakwah pada keluarga juga merupakan kewajiban? Walaupun banyak juga diantara aktifis yang telah berjuang keras melakukan berbagai pendekatan, berdakwah pada keluarga dengan sekuat tenaga namun belum (bukan tidak) berhasil dalam dakwahnya, kemudian mau tidak mau harus mematuhi keinginan orang tua dalam hal pernikahan, yang demikian ini lebih baik dalam pandangan Allah daripada mereka yang hanya pasrah dan tanpa penyesalan menikmati tiap detik acara pernikahan yang sesungguhnya mereka ketahui adanya ketidakbenaran di dalamnya.
Pengalaman saya menghadiri undangan walimah para aktifis dakwah, sangat sedikit sekali dari mereka yang tetap menjaga atau memegang teguh apa yang mereka dakwahkan. Tiba-tiba di atas pelaminan mereka menjadi sosok yang sangat berbeda, bukan sosok aktifis dakwah yang sehari-hari saya kenal. Sosok aktifis yang tidak mengenal tabarruj, pada hari pernikahan justru berdandan dengan sangat berlebihan, muka dibedaki sebanyak 5 lapisan, pipi, bibir dan kelopak mata diberi warna-warna mencolok, alis dicukur dan tidak ketinggalan bulu mata palsu. Tidak hanya tabarruj, jilbab yang semula selalu lebar dengan pakaian yang menutup rapat seluruh aurat tiba-tiba saat pernikahan berubah menjadi jilbab minimalis dengan pakaian pengantin (umumnya kebaya) ketat menonjolkan aurat yang sebelumnya tertutup rapat.
Bahkan ada seorang ukhti yang saya kenal sebagai pentolan aktifis dakwah kampus, memegang segudang amanah dan mempunyai banyak binaan membiarkan wajah dan tubuhnya didandani oleh perias Waria yang sejatinya adalah laki-laki. Lebih parah lagi, seorang teman saya bercerita ada seorang ukhti yang membuka jilbabnya saat ia menikah. Seorang ustadz juga pernah bercerita ketika beliau menghadiri walimah pasangan aktifis, pengantin perempuan menggunakan jilbab berwarna hitam yang dimasukkan ke bajunya sehingga yang tampak hanya bentuk kepalanya, kemudian di atas jilbab hitam itu dililitkan ronce melati sehingga tampak seperti tidak menggunakan jilbab.
Dalam mengatur tamu pun sebagian para pengantin aktifis ini tidak memisahkan antara tamu lelaki dengan tamu perempuan seperti yang mereka lakukan ketika mengadakan acara-acara pengajian, rapat, seminar ataupun demonstrasi. Hari pernikahan seolah menjadi dispensasi untuk membolehkan apa yang tidak boleh, toh sekali seumur hidup.
Sungguh amat sangat disayangkan. Padahal bila kita menyadari, momen pernikahan adalah juga merupakan syiar islam yang seharusnya ditegakkan oleh mereka para aktifis dakwah. Acara pernikahan yang dilaksanakan secara syar’i sesungguhnya dapat menjadi teladan bagi para tamu undangan yang hadir pada saat itu. Pernikahan seorang aktifis dakwah seharusnya bukan pernikahan biasa. Saya sangat menyesalkan bila proses menuju pernikahan yang telah dilakukan dengan begitu islami dari ta’aruf kemudian khitbah, pada akhirnya hanya menjadi sebuah acara pernikahan biasa layaknya pernikahan masyarakat pada umumnya, padahal hanya kurang satu langkah lagi menuju sempurna.
Bila bukan para aktifis dakwah yang mengenalkan tata cara pernikahan secara islami melalui acara pernikahan mereka kepada masyarakat, lalu siapa lagi…?
Permasalahan yang sering terjadi di kalangan aktifis adalah terlalu sibuknya mereka dengan begitu banyak agenda dakwah sehingga tidak punya waktu untuk melakukan pendekatan pada keluarga akan hal ini, bahkan tidak sedikit yang melakukan pemberitahuan secara mendadak pada orang tua bila mereka ingin menikah tanpa memberikan pembelajaran sebelumnya mengenai bagaimana tata cara pernikahan dalam islam sejak ta’aruf, khitbah, hingga acara pernikahan itu sendiri. Sehingga dapat dipastikan keluarga akan menolak mentah-mentah bila tata cara pernikahan berbeda dengan apa yang telah umum di masyarakat, akibatnya mereka akan memaksa sang anak melakukan seperti apa yang mereka kehendaki.
Oleh karena itu hendaknya para aktifis ketika memutuskan menikah tidak hanya mempersiapkan diri mereka secara lahiriah dan batiniah akan tetapi juga mempersiapkan keluarga mereka terutama kedua orang tua.jauh-jauh hari sebelumnya.Bukankah berdakwah pada keluarga juga merupakan kewajiban? Walaupun banyak juga diantara aktifis yang telah berjuang keras melakukan berbagai pendekatan, berdakwah pada keluarga dengan sekuat tenaga namun belum (bukan tidak) berhasil dalam dakwahnya, kemudian mau tidak mau harus mematuhi keinginan orang tua dalam hal pernikahan, yang demikian ini lebih baik dalam pandangan Allah daripada mereka yang hanya pasrah dan tanpa penyesalan menikmati tiap detik acara pernikahan yang sesungguhnya mereka ketahui adanya ketidakbenaran di dalamnya.
Sumber: http://www.abudzakiy.co.cc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar