Ketahuilah wahai kaum Muslimin, menggunakan cadar bagi wanita
muslimah, mengangkat celana jangan sampai menutupi mata kaki dan
membiarkan janggut tumbuh bagi seorang laki-laki Muslim adalah kewajiban
agama dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan terorisme,
sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti bukti-buktinya insya Allah
dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta penjelasan para Ulama ummat.
Benar bahwa sebagian Teroris juga mengamalkan kewajiban-kewajiban di
atas, namun apakah setiap yang mengamalkannya dituduh Teroris?! Kalau
begitu bersiaplah menjadi bangsa yang teramat dangkal pemahamannya… Maka
inilah keterangan ringkas yang insya Allah dapat meluruskan kesalah
pahaman.
Pertama: Dasar kewajiban menggunakan cadar bagi Muslimah
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh mereka tanpa kecuali. Berkata As-Suyuthi rahimahullah, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah, hal. 51, karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah).
Istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang mulia: ‘Aisyah radhiyallahu’anha dan para wanita di zamannya juga menggunakan cadar, sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha berikut:
“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh mereka tanpa kecuali. Berkata As-Suyuthi rahimahullah, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah, hal. 51, karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah).
Istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang mulia: ‘Aisyah radhiyallahu’anha dan para wanita di zamannya juga menggunakan cadar, sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha berikut:
“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Kedua: Dasar kewajiban mengangkat celana, jangan sampai menutupi mata
kaki bagi laki-laki Muslim
Banyak sekali dalil yang melarang isbal (memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki), diantaranya sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhori, no. 5787).
Dan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Ahmad, 6/59,257).
Banyak sekali dalil yang melarang isbal (memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki), diantaranya sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhori, no. 5787).
Dan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Ahmad, 6/59,257).
Ketiga: Dasar kewajiban membiarkan janggut tumbuh bagi laki-laki
Muslim
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan janggut.” (HR. Muslim no. 624).
Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik; potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Muslim no. 625).
Dan masih banyak hadits lain yang menunjukkan perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk membiarkan janggut tumbuh, sedang perintah hukum asalnya adalah wajib sepanjang tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan janggut.” (HR. Muslim no. 624).
Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik; potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Muslim no. 625).
Dan masih banyak hadits lain yang menunjukkan perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk membiarkan janggut tumbuh, sedang perintah hukum asalnya adalah wajib sepanjang tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal.
Demikianlah penjelasan ringkas dari kami, semoga setelah mengetahui
ini kita lebih berhati-hati lagi dalam menyikapi orang-orang yang
mengamalkan sejumlah kewajiban di atas. Tentu sangat tidak bijaksana
apabila kita mengeneralisir setiap orang yang nampak kesungguhannya
dalam menjalankan agama sebagai teroris atau bagian dari jaringan
teroris, bahkan minimal ada dua resiko berbahaya apabila seorang mencela
dan membenci satu kewajiban agama atau membenci orang-orang yang
mengamalkannya (disebabkan karena amalan tersebut):
Pertama: Berbuat zhalim kepada wali-wali Allah, sebab wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik perintah itu wajib maupun sunnah. Dan barangsiapa yang memusuhi wali Allah dia akan mendapatkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. (Yunus: 62-63)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Kalau dia meminta kepada-Ku pasti akan Aku beri. Dan kalau dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti akan Aku lindungi.’.” (HR. Bukhari, lihat hadits Arba’in ke-38).
Faidah: Para Ulama menjelasakan bahwa makna, “Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah” adalah hidayah dari Allah Ta’ala kepada wali-Nya, sehingga ia tidak mendengar kecuali yang diridhai Allah, tidak melihat kepada apa yang diharamkan Allah dan tidak menggunakan kaki dan tangannya kecuali untuk melakukan kebaikan.
Kedua: Perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran, sebab mencela dan membenci satu bagian dari syari’at Allah Jalla wa ‘Ala, baik yang wajib maupun yang sunnah, atau membenci pelakunya (disebabkan karena syari’at yang dia amalkan) merupakan kekafiran kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada pembatal keislaman yang kelima:
“Barangsiapa membenci suatu ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkannya, maka dia telah kafir.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Yang demikian karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (Muhammad: 9)
Maka berhati-hatilah wahai kaum Muslimin.
Dan kepada Ikhwan dan Akhwat yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban di atas hendaklah bersabar dan tetap tsabat (kokoh) di atas sunnah, karena memang demikianlah konsekuensi keimanan, mesti ada ujian yang menyertainya.
Dan wajib bagi kalian untuk senantiasa menuntut ilmu agama dan menjelaskan kepada ummat dengan hikmah dan lemah lembut, serta hujjah yang kuat agar terbuka hati mereka insya Allah, untuk menerima kebenaran ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, bukan pemahaman Teroris. Wallohul Musta’an.
Pertama: Berbuat zhalim kepada wali-wali Allah, sebab wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik perintah itu wajib maupun sunnah. Dan barangsiapa yang memusuhi wali Allah dia akan mendapatkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. (Yunus: 62-63)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Kalau dia meminta kepada-Ku pasti akan Aku beri. Dan kalau dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti akan Aku lindungi.’.” (HR. Bukhari, lihat hadits Arba’in ke-38).
Faidah: Para Ulama menjelasakan bahwa makna, “Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah” adalah hidayah dari Allah Ta’ala kepada wali-Nya, sehingga ia tidak mendengar kecuali yang diridhai Allah, tidak melihat kepada apa yang diharamkan Allah dan tidak menggunakan kaki dan tangannya kecuali untuk melakukan kebaikan.
Kedua: Perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran, sebab mencela dan membenci satu bagian dari syari’at Allah Jalla wa ‘Ala, baik yang wajib maupun yang sunnah, atau membenci pelakunya (disebabkan karena syari’at yang dia amalkan) merupakan kekafiran kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada pembatal keislaman yang kelima:
“Barangsiapa membenci suatu ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkannya, maka dia telah kafir.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Yang demikian karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (Muhammad: 9)
Maka berhati-hatilah wahai kaum Muslimin.
Dan kepada Ikhwan dan Akhwat yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban di atas hendaklah bersabar dan tetap tsabat (kokoh) di atas sunnah, karena memang demikianlah konsekuensi keimanan, mesti ada ujian yang menyertainya.
Dan wajib bagi kalian untuk senantiasa menuntut ilmu agama dan menjelaskan kepada ummat dengan hikmah dan lemah lembut, serta hujjah yang kuat agar terbuka hati mereka insya Allah, untuk menerima kebenaran ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, bukan pemahaman Teroris. Wallohul Musta’an.
Tanah Baru, Depok, 3 Ramadhan 1430 H.
Sumber :
Publikasi Ahlussunnah Jakarta
Publikasi Ahlussunnah Jakarta
(Sumber http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=374)
Penampilan Nyunnah adalah Syiar Islam, Bukan Ciri Teroris!
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan syari’at Islam dengan
sempurna dan meliputi segala hal, berlaku untuk semua zaman, semua
tempat, dan dalam semua kondisi. Baik dalam bidang aqidah, ibadah,
akhlaq sopan santun, cara berpenampilan dan berpakaian, cara bermuamalah
antar sesama, dan banyak lagi. Semuanya telah lengkap dan sempurna.
Syari’at Islam ada yang bersifat batin/tidak tampak, ada pula yang
bersifat zhahir/tampak. Semuanya merupakan bagian dari syari’at Islam
yang harus diamalakan oleh setiap individu muslim. Syi’ar-syi’ar Islam
harus dihormati dan dijunjung tinggi. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.
(Al-Hajj : 32)
Di antara aturan syari’at Islam yang penuh rahmat ini adalah cara
berpenampilan. Islam telah memberikan ketentuan bagi kaum mukminin dan
mukminah dalam cara berpenampilan dan berpakaian.
Terkait dengan mukminin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
(Batas panjang) pakaian (sarung, gamis, celana) seorang muslim adalah
sampai pertengahan betis, dan tidak mengapa jika sampai antara
pertengahan betis dengan dua mata kaki. Kain yang (dipanjangkan sampai)
berada di bawah mata kaki maka itu di neraka. Barangsiapa yang
menjulurkan sarung (melebihi mata kaki) karena sombong maka Allah tidak
akan melihat kepadanya. (HR. Abu Dawud 4093).
Hadits ini menunjukkan bahwa cara berpakaian seorang muslim harus di
atas mata kaki, tidak boleh di bawah mata kaki. Ini ketentuan syari’at
Islam sekaligus ini merupakan ajaran junjungan kita Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang berani melanggar
ketentuan ini dengan sengaja maka dia diancam dengan neraka. Jika
melanggar aturan ini karena sombong, maka ancamannya lebih besar lagi.
Seorang muslim yang cinta ajaran Nabinya, cinta agama Islam, tunduk
dan patuh kepada perintah Allah ‘Azza wa Jalla, maka pasti dia akan
memperhatikan aturan syari’at Islam yang satu ini. Dengan tanpa malu
atau gengsi ia akan berpenampilan dengan pakaian (sarung, gamis, celana)
di atas mata kaki atau setengah betis.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang
berjenggot lebat dan berambut tebal. Ini merupakan teladan dari beliau
dalam berpenampilan. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan umatnya untuk berjenggot. Beliau bersabda :
Potonglah kumis-kumis (kalian) dan panjangkanlah jenggot-jenggot
(kalian), berbedalah kalian dengan penampilan kaum musyrikin.
(Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :
Pangkaslah kumis-kumis (kalian) dan biarkan panjang jenggot-jenggot
(kalian), berbedalah kalian dengan penampilan kaum majusi. (Muttafaqun
‘alaihi)
Hadits di atas menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot sekaligus
menunjukkan haram menggunting atau mencukur jenggot. Ini adalah perintah
dan larangan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian juga, Islam sebagai syari’at yang lengkap dan sempurna,
pembawa rahmat bagi alam semesta, sangat menghargai dan menjaga
kehormatan kaum wanita. Jangan sampai mereka menjadi mangsa pihak-pihak
tidak bertanggungjawab. Di antara bentuk penjagaan Islam terhadap kaum
wanita adalah mereka diwajibkan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh
aurat mereka, mulai dari rambut, leher, tengkuk, dada, punggung, kaki,
dan seluruh anggota tubuh mereka. Perintah ini Allah tegaskan dalam
Al-Qur`an pada surat An-Nur : 31 dan surat Al-Ahzab : 59. Sebagai
generasi yang taat, tunduk, dan patuh kepada perintah Allah dan
Rasul-Nya para istri Nabi dan para shahabiyyah segera melaksanakan
perintah tersebut. Islam mempersyarakatkan baju yang dikenakan tersebut
harus menutupi seluruh tubuh, lebar, tidak ketat atau transparan, tidak
berwarna mencolok atau menarik, dan beberapa kriteria lainnya.
Termasuk yang juga harus ditutup oleh kaum wanita adalah wajah.
Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu’anha mengatakan :
“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, ketika kami (para wanita)
berhaji bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka
ketika mereka (para pengendara laki-laki tersebut) telah dekat,
masing-masing kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi
wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Beberapa ketentuan terkait penampilan dan pakaian di atas merupakan
ketentuan syari’at Islam dan merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Tentu saja itu menjadi ciri khas bagi kaum muslimin yang taat
menjalankan ajaran syari’at, cinta kepada bimbingan Nabinya Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penampilan Islami tersebut merupakan
ciri-ciri orang yang bertaqwa, ciri orang yang shalih, ciri orang yang
taat dan cinta pada agama Islam.
Penampilan Islami di atas bukan bikinan kelompok/golongan atau bangsa
tertentu, bukan pula ciri khas kelompok atau bangsa tertentu, bukan
pula sekedar adat kebiasan masyarakat, bangsa, atau kelompok tertentu.
Tapi merupakan aturan syariat Islam, merupakan ketentuan yang berasal
dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang diajarkan dan disampaikan
oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh musibah telah menimpa kaum muslimin. Setelah kaum teroris –
khawarij mencoreng Islam dan kaum muslimin, mencemarkan nama harum
jihad, mereka juga mencemarkan syiar-syiar Islam. Sebagian kaum teroris –
khawarij tersebut ternyata menampakkan atribut-atribut Islami di atas,
bahkan mereka jadikan atribut Islami tersebut sebagai sarana untuk
penyamaran dan melarikan diri!!
Maka timbullah stigma di masyarakat bahwa orang-orang berjenggot,
bergamis, bercelana di atas mata kaki, atau istri bercadar berarti
adalah teroris, atau sepaham/sealiran dengan teroris, atau minimalnya
pro teroris sehingga harus dicurigai dan diselidiki. Sungguh jahat para
teroris – khawarij tersebut, akibat ulah mereka syiar Islam yang mulia
menjadi tercitrakan jelek.
Yang sangat disesalkan adalah justru sebagaian kaum muslimin sendiri
menjadi benci terhadap jenggot, gamis, cadar, dll serta ikutan-ikutan
menaruh curiga kepada setiap orang yang mengenakannya. Maka suasana ini
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membenci syariat Islam, untuk kembali
menghembuskan isu bahwa jenggot, gamis, cadar, dll bukan bagian dari
Islam, itu hanya adat arab badui, atau merupakan ciri-ciri kelompok
garis keras. Sungguh keyakinan demikian telah menginjak-injak syari’at
Islam, dan disadari maupun tidak merupakan pengingkaran terhadap
sebagian ajaran Islam. Yang lebih disesalkan adalah justru stigma
negatif di atas juga disuarakan oleh orang-orang yang selama ini
dianggap sebagai tokoh Islam, atau cendekiawan muslim. Sungguh
komentar-komentar mereka tidak memberikan solusi, tapi malah membuat
suasana semakin keruh
Sikap sebagian kaum muslimin yang menaruh curiga terhadap segala
atribut Islami di atas – bahkan di beberapa daerah sampai pada tindakan
main hakim sendiri – bukanlah solusi untuk memberantas terorisme. Justru
hal itu menunjukkan ketidakpahaman umat terhadap hakekat terorisme, di
sisi lain menunjukkan betapa rapuhnya aqidah umat sehingga sangat mudah
dikendalikan oleh media massa dan tokoh-tokoh yang tidak jelas.
Terorisme – Khawarij muncul karena kecintaan yang besar terhadap
Islam dan semangat memperjuangkan Islam, namun keluar dari metode yang
benar dalam memahami dan mengaplikasikan dalil-dalil Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Terorisme yang muncul sekarang sebenarnya berakar dan
merupakan kelanjutan dari paham sesat khawarij.
Untuk membentengi membentengi diri kita, keluarga kita, anak-anak
kita, lingkungan dan masyarakat kita dari paham sesat khawarij maka umat
Islam harus kembali merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah di bawah
bimbingan para ‘ulama yang meniti jejak para salafush shalih (para
shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in).
Segala problem yang menimpa kaum muslimin tidak akan tercabut kecuali
jika kaum muslimin mau kembali kepada ajaran agama mereka. Tidak akan
menjadi baik kondisi umat di akhir zaman ini kecuali dengan sesuatu yang
telah menjadikan baik generasi awal Islam, yaitu berpegang kepada
Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan prinsip pemahaman yang benar, yaitu
metode pemahaman para salafush shalih (para shahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in).
(Dikutip dari http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=66#more-66)
Sumber: http://ahlussunnahsukabumi.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar