By: Ali Andi
Banyak wanita yang bingung dengan masa haidnya, ada yang bilang
haidnya terputus-putus, sampai dia harus keramas beberapa kali. Ada
yang mengalami perubahan siklus, kadang maju kadang mundur. Bahkan
banyak juga wanita yang masih bingung membedakan antara darah haid dan
istihadhah. Tulisan dibawah ini berusaha mengupas lebih detail tentang
darah-darah kebiasaan wanita diatas. Berilmu tentangnya sangat
diperlukan bagi wanita, karena hukum-hukum seputar darah tersebut
berkaitan langsung dengan hukum shalat, puasa, haji, pernikahan dan
warisan. Cukup lah yang disebut wanita cerdas itu wanita yang tahu
kebutuhan dirinya untuk akhiratnya.
Haid dan Hikmahnya
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah Syara' ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami,
bukan karena sesuatu sebab, dan pada waktu tertentu. Pembatasan pada
pengertian terakhir ini sangat diperlukan, untuk dapat membedakan antara
darah haid, istihadhah dan nifas. Dimana ketiganya lazim dialami oleh
kaum wanita. Darah haid bersifat normal, bukan disebabkan oleh suatu
penyakit, luka, keguguran atau pun kelahiran.
Seperti yang
kita ketahui, darah haid berasal dari penebalan dinding rahim untuk
mempersiapkan proses pembentukan janin yang nantinya berfungsi sebagai
sumber makanan bagi janin yang ada dalam kandungan seorang ibu. Oleh
karenanya, seorang wanita yang hamil, tidak akan mendapatkan haid lagi,
Begitu juga dengan wanita yang menyusui, biasanya tidak akan
mendapatkannya terutama diawal masa penyusuan. Adapun hikmah yang bisa
kita petik didalamnya adalah Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baiknya
pencipta, yang telah menciptakan gumpalan darah di rahim seorang ibu
sebagai sumber makanan instant bagi janin didalamnya, yang tentu saja
dia belum bisa mencerna makanan apalagi mendapatkan makanan dari luar
kandungan. Maha Bijaksana Allah Subhanahu wa ta'ala yang telah
mengeluarkan darah tersebut dari rahim seorang wanita yang tidak hamil
melalui siklus haid karena memang tidak membutuhkannya. Dengan begitu,
kondisi rahim seorang wanita akan selalu siap bila ada janin
didalamnya.
Usia dan Masa Haid
Haid
pada umumnya dialami oleh seorang wanita pada usia antara 12 sampai
dengan 50 tahun, walaupun hal ini bukanlah batasan yang pasti. Para
ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang hal ini.
Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah
tersebut, menyatakan: “Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab yang
menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapapun adanya,
dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapa pun, darah tersebut
wajib dihukumi sebagai darah haid. Wallahu a'lam.” Pendapat ini
didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi usia haid tergantung dengan keberadaan darah haid itu sendiri,
tidak dibatasi usia tertentu. Dan ini menjadi sandaran hukum atasnya
karena memang tidak ada dalil yang memastikan pembatasan usia wanita
yang mengalami haid.
Adapun masa terjadinya haid, para
ulama juga berbeda pendapat. Ibnu Mundzir mengatakan: “Ada kelompok
yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari
minimal atau maksimalnya”. Pendapat ini didukung juga oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Dan memang itulah yang benar berdasarkan Al
Qur'an, Sunnah dan logika. Dalil-dalilnya sebagai berikut:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah:”Haid itu adalah suatu
kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci'” (Al-Baqarah:222)
Yang dimaksud “jangan mendekati” disini adalah dilarang jima'/senggama ketika wanita tersebut sedang mendapatkan haid.
Dalam ayat diatas diterangkan oleh Allah bahwa yang menjadi batas akhir larangan adalah “kesucian”,
bukan berlalunya waktu sehari, dua hari, atau pun lima belas hari. Hal
ini menunjukkan bahwa batasan masa haid tergantung pada ada tidaknya
darah tersebut, karena setelah darah tersebut berhenti mengalir maka
wanita dikatakan telah masuk masa suci.
Dalam Shahih
Muslim disebutkan bahwasannya Rasulullah Shalalahu 'alaihi wassalam
bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika ihram untuk umrah:
“Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka'bah sebelum kamu suci”.
Dan berkata Aisyah:”Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Hadist ini juga menyatakan bahwa yang menjadi batas akhir larangan (karena haid) adalah “kesucian” itu sendiri.
Adapun
dalil secara logika adalah, jika Allah menerangkan bahwa haid itu
kotoran, maka pada waktu kotoran itu ada, maka haid itu pun ada. Tidak
tergantung pada hukum kepastian berapa lama masanya. Jika terjadi
silang pendapat diantara ulama yang memberikan batasan berapa masa
haid, hal ini justru menunjukkan bahwa tidak ada dalil yang menjadi
patokan adanya pembatasan masa tersebut. Namun, semua itu adalah
ijtihad yang bisa benar dan juga bisa salah. Sehingga tidak ada yang
menjadi lebih baik daripada yang lainnya diantara pendapat-pendapat
tersebut. Dan kembali kepada hukum awal, jika ada perselisihan dalam
penentuan hukum syar'i maka penyelesaiannya adalah kembali kepada
kitabullah dan sunnah yang memang tidak menjelaskan adanya dalil
pembatasan masa haid. Jika memang Allah menentukan masa yang pasti
untuk haid, maka Allah dan Rasul-Nya pasti akan menjelaskan secara
gamblang, hal ini penting sekali, sebab masa haid berkaitan dengan
hukum-hukum ibadah yang lain seperti shalat, puasa, haji, nikah, talak,
warisan. Ini lah pendapat yang paling rajih di kalangan ulama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Pada
prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali
jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu Istihadhah.”
Mengenai
darah istihadhah dan juga nifas akan dibahas lebih lanjut. Sehingga
alangkah perlunya bagi kaum wanita untuk dapat membedakan antara darah
haid, istihadhah dan juga nifas.
Masa Haid yang Tidak Teratur
Ada
beberapa wanita yang mengeluh masa haidnya biasanya enam sampai tujuh
hari, tetapi tiba-tiba berubah sampai lebih dari masa kelaziman
tersebut. Ada juga yang mengeluh, biasanya waktu haidnya diawal bulan,
berubah menjadi diakhir bulan. Sebagian lagi mengalami masa haid yang
terputus-putus, sehari haid, kemudian sehari berhenti, besoknya haid
lagi dan seterusnya. Untuk lebih detail akan dibahas dibawah ini
tentang kondisi-kondisi tak lazim diatas.
a. Bertambah, berkurang, maju dan mundurnya masa haid
Para
ulama berbeda pendapat dalam menghukumi ketidaklaziman ini. Namun,
bertolak dari pendapat yang paling rajih bahwa hukum haid dikaitkan
dengan keberadaan haid itu sendiri, maka pendapat yang benar adalah
seorang wanita jika mendapatkan darah (haid) maka dia berada dalam masa
haid, dan jika tidak mendapatkannya maka dia dalam keadaan suci,
meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya serta maju
atau mundur dari waktu kebiasaannya.
Pendapat diatas
merupakan madzab Imam Syafi'i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Ibnu Qudamah Al-Hanbali (pengarang kitab Al-Mughni) pun ikut
menguatkan pendapat ini dan membelanya dengan menyatakan:”Andaikata
adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan menurut yang disebutkan dalam
madzab, niscaya dijelaskan oleh Nabi Shalalllahu 'alaihi wassalam
kepada umatnya dan tidak ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak
mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan.
Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnya pun mebutuhkan penjelasan
tersebut, maka beliau tidak akan mengabaikannya. Namun, ternyata tidak
ada riwayat yang menyatakan Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam
pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya
kecuali yang berkenaan wanita yang istihadhah saja”.
b.
Darah haid yang keluar terputus-putus, misalnya, hari ini keluar, besok
tidak keluar, atau yang sejenisnya. Dalam hal ini terdapat 2 kondisi:
Kondisi pertama,
jika hal tersebut selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu
(bukan masa haid), maka darah itu adalah darah istihadhah, dan berlaku
baginya hukum istihadah.
Kondisi kedua, jika
hal tersebut tidak selalu terjadi atau kadangkala saja datang dan
mempunyai saat suci yang tepat (berdasarkan kebiasaannya setiap bulan),
maka menurut pendapat yang paling shahih, jika belum keluar lendir
putih sebagai tanda masa haid berakhir, masa tersebut (masa darah
terputus) masih dihukumi masa haid. Karena jika masa terputus tersebut
dihukumi masa suci hal itu pastilah akan menyulitkan penghitungan masa
iddah berdasarkan quru' (haid dan suci), dan juga akan memberatkan
karena harus keramas beberapa kali. Padahal tiadaklah syari'at itu
menyulitkan.
c. Terjadi pengeringan darah, yakni, seorang
wanita tidak mendapatkan selain lembab atau basah saja di kemaluannya.
Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid
sebelum suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah
masa suci, maka tidak termasuk haid.
Sifat Darah Haid
Darah
haid pada umumnya berwarna merah kehitaman dan berbau tidak sedap dan
keluarnya tidak mengucur seperti keluarnya urine, serta terjadi pada
kelaziman masa haid. Seorang wanita yang mendapati darahnya berwarna
kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan
kehitam-hitaman, jika hal itu terjadi pada saat masa haid atau
bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah haid dan berlaku
baginya hukum-hukum haid.Tetapi jika terjadi sesudah masa suci, maka
hal itu bukan lah darah haid. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ummu
Athiyah Radhiyallahu 'anha:
“Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah suci”. (HR Abu Dawud)
Demikian
juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari tentang hadist yang menceritakan
bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepada Aisyah sehelai kain berisi
kapas yang terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata:
“Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih”, yaitu cairan putih yang keluar saat habis masa haid.
Hukum-Hukum Seputar Haid
a. Shalat,
diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun
sunat dan tidak perlu meng-qadha-nya setelah suci, kecuali jika ia
mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempurna, baik
pada awal maupun akhir waktu shalat tersebut. Contoh pada awal waktu,
seorang wanita mendapatkan haid sesaat sebelum matahari terbenam, dan
waktu yang sesaat tadi cukup untuk melakukan satu rakaat sempurna, maka
wajib baginya untuk meng-qadha shalat maghrib yang tertinggal tersebut
setelah ia suci. Contoh di akhir waktu seorang wanita suci dari haid
sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkaan satu rakaat dari
waktu tersebut, maka wajib baginya untuk segera bersuci dan meng-qadha'
shalat shubuh yang tertinggal. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan
oleh muttafaqun 'alaih bahwasannya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu”.
b. Puasa, diharamkan
bagi wanita haid berpuasa dan berhak meng-qadha'nya di hari lain jika
yang ditinggalkannya merupakan puasa wajib. Berdasarkan hadist dari
Aisyah Radhiyallahu 'anha:
“Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami meng-qadha' puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha' shalat” (Muttafaqun 'alaih)
Seorang
wanita yang mendapatkan haid ketika dia sedang berpuasa, maka wajib
membatalkannya walaupun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib. Juga
jika pada saat terbitnya fajar dia masih haid maka tidak sah berpuasa,
sekalipun sesaat setelah fajar dia sudah suci. Dan sebaliknya jika
seorang wanita mendapati dirinya suci sesaat sebelum fajar, maka dia
wajib puasa (puasa wajib) walaupun baru mandi suci setelah fajar.
c.
Membaca Al-Qur'an, walaupun tidak ada dalil qath'i yang melarang
wanita haid untuk membaca Al-qur'an, tetapi banyak ulama yang
mengharamkannya. Syaikh utsaimin mengomentari perbedaan pendapat
dikalangan ulama tentang hal ini dengan mengatakan bahwa lebih utama
bagi wanita haid tidak membaca Al-Qur'an secara lisan, kecuali jika
diperlukan. Misalnya seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya,
atau siswa yang sedang belajar dikelas. Adapun aktivitas dzikr yang lain
diperbolehkan bahkan dianjurkan.
d. Thawaf, diharamkan
bagi wanita haid melakukan thawaf di ka'bah, baik yang wajib maupun
yang sunat. Dalilnya bisa kita baca kembali hadist Aisyah diatas.
e.
Thawaf wada', yaitu terakhir yang dilakukan oleh jama'ah haji sebelum
meninggalkan Baitullah. Diperbolehkan seorang wanita yang haid
meninggalkan thawaf ini, sebagaimana sabda Rasulullah:”Diperintahkan
kepada jamaah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di
Baitullah (melakukan thawaf wada'), hanya saja hal itu tidak dibebankan
kepada wanita haid.” (Muttafaqun 'alaih
f. Berdiam dalam
masjid, diharamkan wanita berdiam diri didalam masjid bahkan di tempat
shalat ied juga. Berdasarkan hadist Ummu Athiyah r.a.:”Agar keluar para
gadis, perawan dan wanita haid'Tetapi wanita haid menjauhi tempat
shalat”. (Muttafaqun 'alaih)
g. Jima' (senggama),
diharamkan bagi seorang suami menggauli istrinya sampai benar-benar dia
dalam keadaan suci. Diharamkan pula bagi sang istri memberi kesempatan
kepada suami untuk melakukan hal tersebut. Dalilnya dapat kita lihat
kembali dalam Qs. Al-Baqarah ayat 222 diatas. Rasulullah bersabda dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, “Lakukan apa saja, kecuali
nikah”, nikah disini adalah jima'. Adapun bercumbu diperbolehkan asal
tidak sampai jima'.
Selain hal-hal diatas, hukum haid juga
berkaitan dengan hukum-hukum warisan dan talaq yang mungkin bisa
dibahas dilain kesempatan.
Mandi Besar di Akhir Masa Haid
Wanita
haid wajib mandi setelah suci dengan membersihkan seluruh badannya.
Berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
“Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat.” (HR. Bukhari)
Tata cara mandi sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan kedua belah tangan
2. mengambil air dan daun bidara dan berwudhu sempurna dengannya (daun bidara bisa diganti dengan sabun)
3. mengguyur air di atas kepala dengan menggosokkannya hingga merata
4. Mengguyur air pada anggota badan hingga bersih
5.
Membersihkan tempat haid dengan kain yang telah diberi pengharum
(mengikuti bekas aliran darah). Point terakhir ini lah yang membedakan
tata cara mandi besar wanita setelah haid dengan mandi besar karena
junub.
(HR. Muslim)
Dan bagi wanita yang berambut
panjang atau lebat bisa tidak melepas gelungan rambutnya, asalkan
gelungan tersebut tidak terlalu kuat sehingga air masih bisa sampai ke
dasar rambut sebagaimana yang terjadi dikalangan shahabiyah zaman
dahulu (shahih muslim). Musafir yang tidak menemukan air dalam
perjalanannya, atau orang sakit yang bila terkena air akan bertambah
parah, bisa dengan tayammum. Wallahu a'lam bi shawwab.
Maroji':
Darah, Kebiasaan Wanita. Syaikh Utsaimin
Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-atsqalani
Jami'ah Ahkamun-nisa', Syaikh Mustofa Al-Adawy. Resume kajian. 2000
Masalah Aktual Muslimah, Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin
Sumber:http://jilbab.or.id/archives/131-risalah-lengkap-tentang-haid-dan-hukum-hukum-seputarnya-plus-cara-mandi-besar/
Semoga Bermanfa'at...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar