Secara
fitrah manusia dikaruniai potensi yang luar biasa yang diberikan oleh Allah
subhanahu Wata’ala, zat yang menciptakan, menghidupkan, dan mematikan
makhluk-Nya. Selain hawa nafsu, salah satu potensi yang besar yang tak terkira
yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah nikmat akal yang dengannya
manusia bisa lebih baik dari pada makhluk lain. Dengan akalnya manusia bisa berfikir, belajar, merenung, maupun bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Termasuk dengan akal itu pula manusia bisa
menentukan atau memutuskan sesuatu berdasarkan nalar, logika, maupun
perasaannya mana yang seharusnya diikuti dan mana yang seharusnya dijauhi.
Namun, saking bodohnya manusia ini, hal-hal buruk pun diikuti tanpa mempertimbangkan
norma-norma yang ada terlebih ajaran agama.
Bulan
Desember, bulan terakhir dalam sistem penanggalan Masehi bagi sebagian kalangan
merupakan bulan yang menjadi saat-saat yang tepat untuk introspeksi diri dari
setiap kesalahan yang dilakukan setahun penuh sekaligus menyusun strategi guna
meraih impian-impian baru sebelum melangkah pasti menitih kehidupan di tahun
berikutnya. Namun, bagi kalangan ummat Islam yang paham akan agamanya, bulan
ini agaknya menjadi bulan kesedihan dan kegalauan karena setidaknya ada 2
moment di bulan Desember ini dimana ummat Islam dihadapkan pada tradisi dan
kebudayaan agama lain yakni hari natal dan selanjutnya adalah perayaan tahun
baru Masehi yang merupakan tradisi ‘wajib’ bagi penduduk di seluruh permukaan bumi
yang berjumlah sekitar kurang lebih 6 Milyar jiwa. Bukannya sedih karena tidak
sempat merayakannya, namun sebaliknya, budaya copy paste, latah, ikut
merayakan, bersuka cita, sampai ikut-ikutan berbuat maksiat telah mewarnai
pemikiran dan tingkah laku ummat Islam terlebih para pemuda.. Dalam kalangan
ummat Islam istilah ini dikenal dengan istilah tasyabbuh. Mari kita telisik
satu persatu bentuk tasyabbuh tersebut.
Hari
natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember diklaim oleh orang orang Nasrani
sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Padahal, sejarah membuktikan bahkan pendeta-pendeta
mereka juga mengakui bahwa tanggal kelahiran Yesus atau Isa dalam agama Islam,
tidak bisa dipastikan secara persis. Usut punya usut, tanggal 25 Desember itu
ternyata merupakan tanggal kelahiran Dewa Matahari dalam mitologi Yunani. Tidak
perlu diherankan karena memang Agama kristen mengadopsi warisan dari kaum pagan
penyembah dewa matahari. Umat kristiani telah bersepakat bahwa Yesus bagi
mereka adalah pembawa terang sehingga diibaratkan seperti matahari yang
merupakan sumber cahaya terbesar bagi kehidupan di bumi.
Sayangnya,
moment tersebut bagi sebagian besar ummat Islam khususnya generasi muda dijadikan
sebagai momentum untuk merusak aqidahnya sendiri atas nama toleransi. Inilah
yang terjadi. Lantaran kebodohan ummat ini akan agamanya, mereka rela ikut
merayakan bersama teman atau kenalannya yang beragama nasrani, turut memakai
atribut natal seperti busana sinterclas, membuat pohon natal, dan lain
sebagainya. Bahkan yang lucunya, kami pernah nonton siaran ditelevisi, ada
beberapa organisasi Islam sampai pengurus remaja masjid yang rela menjadi
pengaman di acara Misa-misa malam natal. Padahal, dalam Al Qur’an Allah
Subhaanahu Wata’ala melarang kita untuk saling tolong menolong dalam hal
keburukan. Kalau saja mereka mempelajari aqidah Islam yang lurus, sekadar
mengucapkan selamat hari natal saja kepada umat nasrani pasti mereka tidak
akan lakukan. Berkata Imam Ibnu Qayyim “memberikan ucapan selamat di hari besar ummat agama lain jauh lebih buruk dari pada mengucapkan selamat kepada pelaku zina". Tentu saja ini adalah bentuk kesyirikan yang sangat
besar yang tidak diampuni dosanya oleh Allah Subhaanahu Wata’ala sebelum
bertobat.
Parahnya,
berbagai media massa terutama televisi menjadi wadah empuk bagi para pemimpin
maupun pejabat negeri ini yang notabene beragama Islam untuk mengucapkan
selamat hari natal. Artis atau selebriti lebih-lebih lagi tentu dengan dalih toleransi antar umat beragama.
Sungguh mulia apa yang dilakukan oleh salah satu Ulama besar kebanggaan
Indonesia yang bernama Buya Hamka ketika beliau menjadi Ketua MUI sekitar tahun 80-an, beliau rela mengundurkan diri menjadi ketua MUI lantaran beliau getol
dan tidak mau mencabut fatwa MUI bahwa natalan bersama dengan umat nasrani hukumnya adalah Haram.
Sayangnya, para Ulama kita hari ini tidak ada yang secara tegas melarang bentuk
tasyabbuh dan perusakan aqidah seperti itu. Apakah mereka atau kita semua lupa
dengan dalil dalam Al Qur’an yang sering dilafalkan oleh anak TK TPA yakni
surah Al-Qaafirun yang salah ayatnya berbunyi ‘Lakum Diinukum waliyadin’ yang
berarti “ untukmu agamu dan untukku agamaku“. Dalam tafsir Ibnu Katsir, asbabun
nuzul ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang intinya Rasulullah tidak
ingin mencampuradukkan agama Islam yang murni dengan ajaran orang kafir.
Yang
kedua, bentuk tasyabbuh yang nyata dilakukan oleh pemuda-pemuda Islam adalah
turut larut dalam perayaan tahun baru Masehi. Tahun baru hijriah saja tidak ada
anjurannya untuk dirayakan apalagi tahun baru masehi yang sejatinya sebenarnya
merupakan penanggalan Kristen. Betapa tidak, kita bisa melihat banyak
pemuda-pemudi muslim yang rela berpesta pora sambil bergadang dan menanti detik
detik pergantian tahun. Bahkan, tidak sedikit kita dapati kegadisan seorang perempuan ketika malam itu
luluh lantah akibat hubungan seksual alias perzinahan dengan pacar atau teman
laki-lakinya, waiyyaudzubillah. Bahkan, ada seorang teman yang pernah bercerita
bahwa ketika pagi hari di awal tahun baru beliau temukan banyak kondom-kondom
busuk yang berserakan di sepanjang pantai Losari. Belum lagi di diskotik-diskotik
bahkan sampai dipondokan-pondokan mahasiwa mereka melakukan ritual konyol
perzinahan ala binatang seperti itu. Mungkin inilah yang menjadi bukti dari
perkataan seorang pendeta nasrani beberapa abad yang lalu dalam sebuah
konferensi para Misionaris Kristen Se-Dunia yang disebut Konferensi Al Quds,
beliau mengatakan “ Yang harus kita lakukan untuk menghancurkan Islam adalah
bukan menjadikan umat Islam masuk agama kita tetapi cukuplah mereka mengikuti
adat dan kebiasaan agama kita.”
Lebih
lanjut ketika kita telisik lebih jauh dalam ajaran agama kita, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti kita dalam sebuah sabda beliau bahwa barang siapa yang mengikuti suatu kaum
maka dia termasuk dalam golongan mereka. Dalam hadits yang lain Rasulullah
menyampaikan kepada para sahabatnya bahwa akan datang suatu masa dimana kalian
akan mengikuti kalangan sebelum kalian sehasta demi sehasta sampai ketika mereka masuk dalam lubang
biawak sekalipun kalian akan mengikutinya. Kemudian seorang sahabat
bertanya"apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani wahai Rasulullah?’ Kemudian
Rasulullah menjawab, siapa lagi kalau bukan mereka.
Lantas,
apa yang mesti kita lakukan untuk membendung kebodohan ummat maupun makar
musuh-musuh Islam seperti ini? Haruskah kita hanya menjadi penonton saja
sekaligus meratapi fenomena ummat? Kita mungkin tidak akan terkena oleh
makar-makar mereka, tapi tidak menutup kemungkinan , adik adik kita,
sepupu-sepupu kita, keluarga atau teman-teman kita yang lain akan menjadi
korban-korban selanjutnya. Tentu saja hal ini tidak bisa kita biarkan. Ada beberapa
hal yang mestinya bisa kita lakukan antara lain:
1. Mempelajari kemudian mendakwahkan aqidah Islam yang sebenarnya kepada ummat, yakni aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah berdasarkan pemahaman shalafussholeh.
2. Mempelajari ilmu syar’I secara kaffah sehingga kita bangga dengan agama kita sendiri.
3. Memperbesar kecintaan kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam sebagai konsekuensi syahadat kita sekaligus mengidolakan beliau karena dengan mengikuti tingkah laku beliau, kita akan menemukan bahwa beliau satu-satunya manusia yang pantas kita bertasyabbuh terhadapnya. Kemudian juga mestinya kita mempelajari kehidupan para sahabat dan orang-orang saleh terdahulu maupun ulama-ulama masa kini supaya kita semua semakin cinta dengan Islam yang dengannya kita bisa percaya diri dan tidak malu-malu lagi menunjukkan identistas kita sebagai seorang muslim.
1. Mempelajari kemudian mendakwahkan aqidah Islam yang sebenarnya kepada ummat, yakni aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah berdasarkan pemahaman shalafussholeh.
2. Mempelajari ilmu syar’I secara kaffah sehingga kita bangga dengan agama kita sendiri.
3. Memperbesar kecintaan kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam sebagai konsekuensi syahadat kita sekaligus mengidolakan beliau karena dengan mengikuti tingkah laku beliau, kita akan menemukan bahwa beliau satu-satunya manusia yang pantas kita bertasyabbuh terhadapnya. Kemudian juga mestinya kita mempelajari kehidupan para sahabat dan orang-orang saleh terdahulu maupun ulama-ulama masa kini supaya kita semua semakin cinta dengan Islam yang dengannya kita bisa percaya diri dan tidak malu-malu lagi menunjukkan identistas kita sebagai seorang muslim.
Dengan berusaha mengamalkan beberapa tips diatas
insyaaAllah suatu saat tanpa ragu lagi kita akan mengatakan “I’m A real Moslem”
and Go to Hell for the Unbelievers. Wallahu a’lam bishawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar