By : Abu Muhammad Al Munawy
(Ketua Umum Fosmim Makassar)
(Ketua Umum Fosmim Makassar)
Cukup
banyak catatan yang mestinya menjadi bahan muhasabah bagi pada mahasiswa selama
tahun 2011. Khususnya yang beragama Islam. Namun pada tulisan ini kami hanya
angkat salah satunya yakni pelajaran dari fenomena tawuran VS kurangnya pembinaan akhlak dan
moral mahasiswa.
Sungguh
miris dan menyayat hati rasanya ketika suatu saat kami mendengarkan ungkapan
dari seorang ustadz “ disaat kampus-kampus lain yang ada di Jawa sedang
asyik-asyiknya merancang berbagai macam karya baik yang bersifat fisik seperti
elektronik maupun karya ilmiah yang lain, mahasiswa di Makassar masih
disibukkan dengan tawuran “.Tamparan telak kiranya yang terjadi bagi mahasiswa
secara umum yang ada di Makassar. Seperti yang beberapa kali terjadi di Unhas,
UMI, UNM, dan kampus-kampus lain. Penyebabnya pun beragam, ada pertikaian antar
fakultas, demonstrasi yang berujung bentrok, dan lain-lain. Untuk menjaga
objektivitas tulisan, kami tidak
membahas salah satu kampus saja tetapi hal ini merupakan gambaran umum yang
terjadi. Kalaupun nantinya akan sedikit mengambil contoh dari salah satu
kampus, itu hanya skadar memperjelas maksud saja.
Ya,
tawuran mahasiswa yang berulang kali terjadi di beberapa kampus di Makassar adalah bukti dan cerminan kongkrit bahwa masih
banyak yang salah dengan pendidikan moral mahasiswa apalagi kebanyakan dari
pelakunya adalah muslim. Tentu saja banyak pihak yang mesti bertanggung jawab
dengan kasus-kasus memalukan dan memilukan seperti ini. Anehnya, sampai saat
ini masih banyak para mahasiswa dan civitas akademika secara umum yang belum
peka melihat apa sebenarnya yang menjadi akar masalahnya dan sedikit mencari solusi
tuntas untuk mengakhiri episode-episode dari drama tawuran yang menjadi tradisi
mahasiswa. Mari kita telisik lebih jauh tentang kondisi mahasiswa, birokrasi, pendidik,
maupun apa sebenarnya metode ampuh sebagai solusi dari segala masalah yang ada.
Mahasiswa
sebagai isu sentral dari tawuran yang mengklaim diri sebagai “Agent of Change” hendaknya
meng-install ulang pemikiran selama
ini, dari berbagai sisi seharusnya kita lebih banyak merenung dan berpikir
dewasa, paling tidak ada 2 pertanyaan mendasar yang mengganjal dalam hati dan
pikiran kita yang semestinya merasuk jauh dalam relung hati kita. Yang pertama,
apakah semua masalah mesti kita selesaikan dengan mengedepankan emosi sesaat yang
memicu tawuran apalagi hanya masalah sepele?. Pertanyaan kedua, tidak malukah
kita dengan orang tua, sahabat, dosen-dosen kita, atau mahasiswa dari kampus
lain dengan pemberitaan media yang menyudutkan kita? Sebagai mahasiswa yang
masih punya hati nurani mestinya terhentak mendengar pertanyaan-pertanyaan
seperti ini.
Untuk
menjawab hal tersebut bisa kita awali dengan merenungi apa yang kita lakukan
selama ini, salah satunya dari lemahnya sisi pengaderan dan rasa persaudaraan
antara kita sesama mahasiswa yang kita ditakdirkan oleh Allah berada di
Fakultas yang berbeda baik secara kelembagaan maupun bidang ilmu yang kita
geluti. Padahal pada hakikatnya, kita sama-sama sebagai makhluk Sang Pencipta
apalagi kita sesama muslim yang diperintahkan untuk saling menyayangi satu
dengan yang lain dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan. Agaknya
nasihat yang juga kami peruntukkan kepada kami sendiri ini terlalu ‘ galau dan lebay’ bagi sebagian kalangan tapi seperti inilah solusi yang akan kami
tawarkan.
Pengkaderan
selama ini yang bukan rahasia umum lagi sedikit banyak telah terbukti walaupun
ada juga yang belum terbukti melahirkan semangat-semangat individualis dan
arogansi bak zaman jahiliyah sebelum kedatangan agama Islam yang dimana mereka
bangga dengan sukunya masing-masing yang rela menumpahkan darah bahkan mati
untuk hal tersebut. Ya mati konyol istilahnya. Itulah yang menjadi penyakit
mahasiswa. Tiap fakultas bukannya saling berkompetisi menunjukkan prestasi
masing-masing dari sisi akademik, olah raga atau semisalnya namun malah prestise dan “Organizational Egoism” yang ditonjol-tonjolkan. Ada masalah yang
tadinya bisa diselesaikan dengan kepala dingin melalui budaya konfirmasi dan
diplomasi, namun sungguh sangat disayangkan malah pikiran instan yang berunjuk
pada tawuran yang dipandang sebagai solusi ‘jantan’ untuk menuntaskan masalah. Apakah
kita tidak pernah membaca sejarah, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dilempari oleh seorang kafir Quraisy dengan kotoran, batu, sampai
meludahi beliau ketika beliau mendakwahkan Islam, Rasulullah tidak membalasnya
dengan hal yang sama, malah yang menakjubkan, ketika orang kafir Quraisy tadi
sakit, maka Rasulullah Muhammad Shallallhu ‘alaihi Wasalam-lah yang pertama
kali menjenguknya sampai orang tersebut akhirnya masuk Islam karena terkesan
dengan mulianya akhlak Rasulullah. Adakah kita mengambil pelajaran dari semua
itu? Sekarang, apalah gunanya wahai kawan-kawan kita membentuk Forum-forum di
kampus kalau bukan kita gunakan sebagai sarana persaudaraan dengan lembaga
fakultas lain atau Organisasi mahasiswa lainnya atau paling minimal bisa
menjadi wadah untuk menyelesaikan masalah-masalah sepele yang membutakan mata
hati kita selama ini.
Di
samping itu, jika kita telisik lebih jauh lagi, ternyata pihak birokrasi kampus
juga ketar ketir dan dibuat ‘malu’ dengan ulah mahasiswanya sendiri. Bahkan
disalah satu kampus, pihak kampus rela bertebal muka dengan mendatangkan pihak
kepolisian layaknya Densus 88 yang akan meringkus para teroris. Begitulah
resiko pemimpin, setiap ada masalah yang menimpa bawahan kita atau yang kita
pimpin, kita sendiri yang akan kebakaran jenggot mempertanggung jawabkannya
secara moral maupun secara lembaga. Sama halnya ketika ada mahasiswa yang bocor
kepalanya atau bahkan sampai tewas, maka orang tua kita dikampung yang pertama
kali sedih mendengarnya.
Bagi kami, apa yang dilakukan oleh birokrasi
kita selama ini sebenarnya sudah cukup maksimal namun perlu ditingkatkan.
Beberapa kali para pengurus BEM, HIMPUNAN, dan UKM di kampus2 diundang untuk
mengikuti Training-training motivasi, pengembangan Karakter, atau forum2 ilmiah
lainnya. Suatu cara yang cukup efektif tapi perlu ditingkatkan frekuensinya.
Namun, sekali lagi tidak cukup sampai disitu, perlu ada upaya yang lebih
komprehensif. Salah satunya dengan membuat aturan yang tegas terkait pengaderan
mahasiswa. Kalau perlu istilah pengkaderan dirubah menjadi istilah pembinaan
dan item-item pembinaanya betul-betul difokuskan pada pembinaan akhlak dan
moral.
Tentunya, atmosfir pengembangan karakter di
kampus-kampus tidak cukup hanya didengungkan dalam skala universitas, namun
mesti diupayakan sampai skala fakultas bahkan sampai tingkat jurusan. Insya Allah
lebih efektif. Tentunya juga perlu diawali dari perubahan karakter para
birokrat dan dosen-dosen dimasing-masing fakultas. Kalau para birokrasi dan
dosen-dosenya punya karakter terbaik, tentu mahasiswanya juga belum tentu baik.
Ya itulah anehnya mahasiswa zaman sekarang, anekdoknya ‘walaupun malaikat yang
mendidik, tidak akan berubah”. Lagi-lagi butuh kesadaran iman dan perbaikan
akhlak yang mengakar yang muncul dari pribadi-pribadi mahasiswa sendiri.
Disinilah pentingnya pembinaan iman dan taqwa.
Kepada
para aktivis kampus terlebih pengusung dakwah kampus yang selama ini dikenal idealis
dan ideologis, bukankah kejadian-kejadian yang menimpa kampus kita membuktikan dan
membuka mata kepala dan hati kita bahwa selama ini dakwah kita belum maksimal
atau bahkan bisa dikatakan gagal?? Apakah masih masuk akal ketika hanya sistem
kita sudah bagus lantas moral mahasiswa juga bagus. Tentu saja jawabannya belum
tentu. Sudah saatnya pembinaan keimanan dan akhlak sebagai poros utama
perjuangan mahasiswa muslim apalagi yang mengaku aktivis dakwah kampus, tidak
perlu muluk-muluk, bayangkan saja ketika saudara-saudara kita sudah mengetahui
hakikat dirinya sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, Allah Subhanahu Wata’ala
apalagi ada ukhuwah islamiyah yang menyatukan hati-hati kita, rasanya kita
tidak akan tega ikut-ikutan mengangkat batu dan busur untuk membidik dan
mencelakakan saudara kita. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya yakni tarbiyah ruhiyah (penyucian jiwa dan keimanan), tarbiyah tsaqafiyah
(pemahaman ilmu syar’i), dan tarbiyah jasadiyah (pembinaan fisik untuk
menguatkan punggung kita dalam mengusung kebenaran hakiki), mudah-mudahan
ditahun yang akan datang dalam bingkai akhlak yang mulia yang dicontohkan oleh
idola kita Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan dukungan semua pihak
tentunya, kita semua mahasiswa lebih tahu diri dan memanfaatkan waktu kuliah
yang singkat untuk menghasilkan karya-karya yang terbaik. Allahu Akbar, Wallahu
a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar