Selasa, 27 Desember 2011

Refleksi Akhir Tahun bagi Para Mahasiswa Muslim Makassar




By : Abu Muhammad Al Munawy  
(Ketua Umum Fosmim Makassar)
Cukup banyak catatan yang mestinya menjadi bahan muhasabah bagi pada mahasiswa selama tahun 2011. Khususnya yang beragama Islam. Namun pada tulisan ini kami hanya angkat salah satunya yakni pelajaran dari fenomena tawuran VS kurangnya pembinaan akhlak dan moral mahasiswa.
Sungguh miris dan menyayat hati rasanya ketika suatu saat kami mendengarkan ungkapan dari seorang ustadz “ disaat kampus-kampus lain yang ada di Jawa sedang asyik-asyiknya merancang berbagai macam karya baik yang bersifat fisik seperti elektronik maupun karya ilmiah yang lain, mahasiswa di Makassar masih disibukkan dengan tawuran “.Tamparan telak kiranya yang terjadi bagi mahasiswa secara umum yang ada di Makassar. Seperti yang beberapa kali terjadi di Unhas, UMI, UNM, dan kampus-kampus lain. Penyebabnya pun beragam, ada pertikaian antar fakultas, demonstrasi yang berujung bentrok, dan lain-lain. Untuk menjaga objektivitas  tulisan, kami tidak membahas salah satu kampus saja tetapi hal ini merupakan gambaran umum yang terjadi. Kalaupun nantinya akan sedikit mengambil contoh dari salah satu kampus, itu hanya skadar memperjelas maksud saja.
Ya, tawuran mahasiswa yang berulang kali terjadi di beberapa kampus di Makassar  adalah bukti dan cerminan kongkrit bahwa masih banyak yang salah dengan pendidikan moral mahasiswa apalagi kebanyakan dari pelakunya adalah muslim. Tentu saja banyak pihak yang mesti bertanggung jawab dengan kasus-kasus memalukan dan memilukan seperti ini. Anehnya, sampai saat ini masih banyak para mahasiswa dan civitas akademika secara umum yang belum peka melihat apa sebenarnya yang menjadi akar masalahnya dan sedikit mencari solusi tuntas untuk mengakhiri episode-episode dari drama tawuran yang menjadi tradisi mahasiswa. Mari kita telisik lebih jauh tentang kondisi mahasiswa, birokrasi, pendidik, maupun apa sebenarnya metode ampuh sebagai solusi dari segala masalah yang ada.

Mahasiswa sebagai isu sentral dari tawuran yang mengklaim diri sebagai “Agent of Change” hendaknya meng-install ulang pemikiran selama ini, dari berbagai sisi seharusnya kita lebih banyak merenung dan berpikir dewasa, paling tidak ada 2 pertanyaan mendasar yang mengganjal dalam hati dan pikiran kita yang semestinya merasuk jauh dalam relung hati kita. Yang pertama, apakah semua masalah mesti kita selesaikan dengan mengedepankan emosi sesaat yang memicu tawuran apalagi hanya masalah sepele?. Pertanyaan kedua, tidak malukah kita dengan orang tua, sahabat, dosen-dosen kita, atau mahasiswa dari kampus lain dengan pemberitaan media yang menyudutkan kita? Sebagai mahasiswa yang masih punya hati nurani mestinya terhentak mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
Untuk menjawab hal tersebut bisa kita awali dengan merenungi apa yang kita lakukan selama ini, salah satunya dari lemahnya sisi pengaderan dan rasa persaudaraan antara kita sesama mahasiswa yang kita ditakdirkan oleh Allah berada di Fakultas yang berbeda baik secara kelembagaan maupun bidang ilmu yang kita geluti. Padahal pada hakikatnya, kita sama-sama sebagai makhluk Sang Pencipta apalagi kita sesama muslim yang diperintahkan untuk saling menyayangi satu dengan yang lain dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan. Agaknya nasihat yang juga kami peruntukkan kepada kami sendiri ini terlalu ‘ galau dan lebay’ bagi sebagian kalangan tapi seperti inilah solusi yang akan kami tawarkan.
Pengkaderan selama ini yang bukan rahasia umum lagi sedikit banyak telah terbukti walaupun ada juga yang belum terbukti melahirkan semangat-semangat individualis dan arogansi bak zaman jahiliyah sebelum kedatangan agama Islam yang dimana mereka bangga dengan sukunya masing-masing yang rela menumpahkan darah bahkan mati untuk hal tersebut. Ya mati konyol istilahnya. Itulah yang menjadi penyakit mahasiswa. Tiap fakultas bukannya saling berkompetisi menunjukkan prestasi masing-masing dari sisi akademik, olah raga atau semisalnya namun malah prestise dan “Organizational Egoism” yang ditonjol-tonjolkan. Ada masalah yang tadinya bisa diselesaikan dengan kepala dingin melalui budaya konfirmasi dan diplomasi, namun sungguh sangat disayangkan malah pikiran instan yang berunjuk pada tawuran yang dipandang sebagai solusi ‘jantan’ untuk menuntaskan masalah. Apakah kita tidak pernah membaca sejarah, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dilempari oleh seorang kafir Quraisy dengan kotoran, batu, sampai meludahi beliau ketika beliau mendakwahkan Islam, Rasulullah tidak membalasnya dengan hal yang sama, malah yang menakjubkan, ketika orang kafir Quraisy tadi sakit, maka Rasulullah Muhammad Shallallhu ‘alaihi Wasalam-lah yang pertama kali menjenguknya sampai orang tersebut akhirnya masuk Islam karena terkesan dengan mulianya akhlak Rasulullah. Adakah kita mengambil pelajaran dari semua itu? Sekarang, apalah gunanya wahai kawan-kawan kita membentuk Forum-forum di kampus kalau bukan kita gunakan sebagai sarana persaudaraan dengan lembaga fakultas lain atau Organisasi mahasiswa lainnya atau paling minimal bisa menjadi wadah untuk menyelesaikan masalah-masalah sepele yang membutakan mata hati kita selama ini.
Di samping itu, jika kita telisik lebih jauh lagi, ternyata pihak birokrasi kampus juga ketar ketir dan dibuat ‘malu’ dengan ulah mahasiswanya sendiri. Bahkan disalah satu kampus, pihak kampus rela bertebal muka dengan mendatangkan pihak kepolisian layaknya Densus 88 yang akan meringkus para teroris. Begitulah resiko pemimpin, setiap ada masalah yang menimpa bawahan kita atau yang kita pimpin, kita sendiri yang akan kebakaran jenggot mempertanggung jawabkannya secara moral maupun secara lembaga. Sama halnya ketika ada mahasiswa yang bocor kepalanya atau bahkan sampai tewas, maka orang tua kita dikampung yang pertama kali sedih mendengarnya.
 Bagi kami, apa yang dilakukan oleh birokrasi kita selama ini sebenarnya sudah cukup maksimal namun perlu ditingkatkan. Beberapa kali para pengurus BEM, HIMPUNAN, dan UKM di kampus2 diundang untuk mengikuti Training-training motivasi, pengembangan Karakter, atau forum2 ilmiah lainnya. Suatu cara yang cukup efektif tapi perlu ditingkatkan frekuensinya. Namun, sekali lagi tidak cukup sampai disitu, perlu ada upaya yang lebih komprehensif. Salah satunya dengan membuat aturan yang tegas terkait pengaderan mahasiswa. Kalau perlu istilah pengkaderan dirubah menjadi istilah pembinaan dan item-item pembinaanya betul-betul difokuskan pada pembinaan akhlak dan moral.
 Tentunya, atmosfir pengembangan karakter di kampus-kampus tidak cukup hanya didengungkan dalam skala universitas, namun mesti diupayakan sampai skala fakultas bahkan sampai tingkat jurusan. Insya Allah lebih efektif. Tentunya juga perlu diawali dari perubahan karakter para birokrat dan dosen-dosen dimasing-masing fakultas. Kalau para birokrasi dan dosen-dosenya punya karakter terbaik, tentu mahasiswanya juga belum tentu baik. Ya itulah anehnya mahasiswa zaman sekarang, anekdoknya ‘walaupun malaikat yang mendidik, tidak akan berubah”. Lagi-lagi butuh kesadaran iman dan perbaikan akhlak yang mengakar yang muncul dari pribadi-pribadi mahasiswa sendiri. Disinilah pentingnya pembinaan iman dan taqwa.
Kepada para aktivis kampus terlebih pengusung dakwah kampus yang selama ini dikenal idealis dan ideologis, bukankah kejadian-kejadian yang menimpa kampus kita membuktikan dan membuka mata kepala dan hati kita bahwa selama ini dakwah kita belum maksimal atau bahkan bisa dikatakan gagal?? Apakah masih masuk akal ketika hanya sistem kita sudah bagus lantas moral mahasiswa juga bagus. Tentu saja jawabannya belum tentu. Sudah saatnya pembinaan keimanan dan akhlak sebagai poros utama perjuangan mahasiswa muslim apalagi yang mengaku aktivis dakwah kampus, tidak perlu muluk-muluk, bayangkan saja ketika saudara-saudara kita sudah mengetahui hakikat dirinya sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, Allah Subhanahu Wata’ala apalagi ada ukhuwah islamiyah yang menyatukan hati-hati kita, rasanya kita tidak akan tega ikut-ikutan mengangkat batu dan busur untuk membidik dan mencelakakan saudara kita. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya yakni tarbiyah ruhiyah (penyucian jiwa dan keimanan), tarbiyah tsaqafiyah (pemahaman ilmu syar’i), dan tarbiyah jasadiyah (pembinaan fisik untuk menguatkan punggung kita dalam mengusung kebenaran hakiki), mudah-mudahan ditahun yang akan datang dalam bingkai akhlak yang mulia yang dicontohkan oleh idola kita Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan dukungan semua pihak tentunya, kita semua mahasiswa lebih tahu diri dan memanfaatkan waktu kuliah yang singkat untuk menghasilkan karya-karya yang terbaik. Allahu Akbar, Wallahu a’lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar