Kisah Unik Abu HurairaH
By: Abu Mushlih
Kutinggalkan rombongan untuk mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Akhirnya, aku jumpai sebuah kebun milik kaum Anshar dari Bani
Najjar. Aku kelilingi kebun itu, barangkali ada pintu masuk yang bisa
dilewati…
Imam Muslim rahimahullah
menuturkan sebuah kisah menarik di dalam kitabnya Shahih Muslim. Beliau
berkata: Zuhair bin Harb menuturkan kepada saya: [Dia berkata] Umar bin
Yunus al-Hanafi menuturkan kepada kami: [Dia berkata] Ikrimah bin ‘Ammar
menuturkan kepada kami. Dia berkata: Abu Katsir menuturkan kepada kami.
Dia berkata: Abu Hurairah menuturkan kepadaku.
Abu Hurairah berkata:
Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ketika itu ada juga bersama kami Abu Bakar dan Umar dalam
sebuah rombongan [para sahabat]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bangkit meninggalkan rombongan kami. Akhirnya, beliau pun
tertinggal di belakang kami. Kami khawatir kalau ada apa-apa yang
menimpa beliau sehingga tertinggal dari rombongan. Kami pun merasa
khawatir dan berusaha mencari tahu keberadaan beliau. Saat itu, aku
adalah orang pertama yang dirundung cemas, jangan-jangan ada sesuatu
yang menimpa beliau.
Kutinggalkan rombongan untuk mencari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya, aku jumpai sebuah
kebun milik kaum Anshar dari Bani Najjar. Aku kelilingi kebun itu,
barangkali ada pintu masuk yang bisa dilewati. Ternyata pintu itu tidak
ada. Yang aku temukan hanyalah sebuah sungai kecil yang menuju bagian
dalam kebun. Sungai itu bersumber dari sebuah mata air di luar kebun.
Aku pun meloncat -masuk ke dalam kebun- seperti seekor srigala.
Di dalam kebun itu, aku bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau berkata, “Abu Hurairah?”. Kujawab, “Benar ya
Rasulullah”. Beliau mengatakan, “Ada apa denganmu?”. Aku berkata,
“Sebelum ini anda berada di tengah-tengah kami, kemudian anda pergi
sehingga tertinggal dari rombongan. Kami merasa khawatir ada apa-apa
yang terjadi padamu sehingga tertinggal dari rombongan. Kami merasa
was-was, dan akulah orang pertama yang merasa cemas. Oleh sebab itu aku
datangi kebun ini. Aku pun meloncat -masuk ke dalam kebun- seperti
seekor srigala. Sementara para sahabat yang lain tetap berada di
belakang.”
Beliau pun bersabda -seraya memberikan sepasang
sandalnya kepadaku-, “Pergilah dengan membawa kedua sandalku ini. Siapa
saja yang kamu temui di balik kebun ini sedangkan dia bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dengan penuh keyakinan
dari dalam hatinya, maka berikanlah kabar gembira surga untuknya.”
Setelah keluar, ternyata orang pertama yang aku jumpai adalah Umar.
Umar pun bertanya, “Ada apa dengan kedua sandal ini wahai Abu
Hurairah?”. Aku berkata, “Ini adalah sandal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau mengutusku dengannya seraya berpesan:
Barangsiapa yang aku jumpai di balik kebun ini sedangkan dia bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dengan penuh
keyakinan dari dalam hatinya, maka akan aku berikan kabar gembira surga
untuknya.”
Umar pun memukul dadaku dengan tangannya. Aku pun
terdorong jatuh dan terduduk di atas pantatku. Umar berkata, “Kembalilah
wahai Abu Hurairah.” Aku pun kembali menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Seraya menahan tangis aku adukan hal ini kepada
beliau. Umar pun ternyata berjalan mengikutiku dari belakang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Apa yang
terjadi padamu, wahai Abu Hurairah?”. Aku menjawab, “Aku tadi bertemu
dengan Umar. Kemudian kukabarkan kepadanya berita yang anda perintahkan.
Tiba-tiba Umar mendaratkan sebuah pukulan ke dadaku sehingga aku pun
terdorong jatuh dan terduduk di atas pantatku. Umar justru berkata
kepadaku, “Kembalilah.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepada Umar, “Wahai Umar. Apa yang mendorongmu untuk
melakukan hal itu?”. Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku
sebagai tebusan bagimu. Benarkah anda telah mengutus Abu Hurairah dengan
membawa kedua sandalmu untuk mengatakan kepada orang yang dia temui;
barangsiapa yang dia temui sedangkan dia telah bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang benar selain Allah dengan penuh keyakinan dari dalam
hatinya bahwa dia mendapatkan kabar gembira surga?”.
Beliau pun
menjawab, “Benar”. Umar pun menimpali, “Jangan anda lakukan itu. Saya
khawatir orang-orang menjadi bersandar kepadanya. Biarkan saja mereka
sibuk dengan amalnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ya, biarkan saja mereka.”
[Diterjemahkan dari Shahih Muslim bersama Syarah Nawawi, juz 2 hal. 77-82]
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kisah ini menyimpan segudang
pelajaran berharga. Imam Nawawi rahimahullah telah menyebutkan sebagian
pelajaran yang terkandung di dalam hadits ini sebagai berikut:
Tatkala memberitakan rombongan para sahabat yang ada saat itu, Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Ketika itu ada juga bersama kami
Abu Bakar dan Umar…”. Ini merupakan cara pemberitaan yang bagus. Yaitu
apabila bermaksud menceritakan serombongan orang namun dirasa terlalu
banyak jika harus disebutkan seluruhnya, maka cukuplah disebutkan
tokoh-tokohnya. Adapun yang lain cukup disebutkan secara umum (lihat
Syarh Muslim [2/77])
Di dalam hadits di atas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa orang yang akan masuk surga adalah
orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan disertai keyakinan hati.
Hal ini menunjukkan bahwa sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa
disertai keyakinan terhadap kandungannya tidaklah bermanfaat. Demikian
pula, keyakinan tauhid yang tidak diucapkan juga tidak berguna. Oleh
sebab itu keduanya harus dipadukan; yaitu keyakinan tauhid dan
ucapan/syahadat (lihat Syarh Muslim [2/79]). Hal ini tentu saja dengan
catatan ucapan dan keyakinan itu juga diiringi dengan amalan; yaitu
seorang beribadah kepada Allah semata dan mengingkari peribadatan kepada
selain-Nya, sebagaimana hal itu telah dipahami…
Perbuatan Umar
ketika memukul Abu Hurairah bukanlah dalam rangka menjatuhkan atau
menyakitinya, akan tetapi demi mencegahnya dari apa yang hendak dia
lakukan dan supaya dia benar-benar menahan diri darinya. Sebab, menurut
pandangan Umar menyembunyikan berita itu untuk sementara jauh lebih
mendatangkan kebaikan daripada menyebarkannya. Karena dengan
menyebarkannya membuat orang hanya bersandar dengan tauhid dan
meninggalkan amalannya. Tatkala pandangan itu disampaikan Umar kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau pun menyetujui
pendapatnya (lihat Syarh Muslim [2/80])
Hal ini menunjukkan
bahwa apabila seorang pemimpin atau orang yang lebih senior memilih
suatu pendapat kemudian orang-orang yang mengikutinya memiliki pendapat
yang berlainan, semestinya bagi pengikut untuk menyampaikan pendapat itu
kepada pemimpin atau seniornya. Apabila tampak baginya bahwa yang benar
adalah pendapat si pengikut maka selayaknya pemimpin itu pun rujuk
kepadanya. Apabila ternyata sebaliknya -pendapat mereka yang salah-,
hendaknya dia menjawab kerancuan yang mereka tanyakan (lihat Syarh
Muslim [2/80])
Seorang yang berilmu hendaknya menyempatkan diri
untuk duduk-duduk bersama murid-murid atau orang-orang yang bertanya
kepadanya dalam rangka menyampaikan ilmu atau faidah serta melayani
pertanyaan-pertanyaan mereka (lihat Syarh Muslim [2/81])
Kisah
di atas menunjukkan betapa besar penghormatan dan sopan santun para
sahabat radhiyallahu’anhum dalam menunaikan hak-hak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam memuliakan beliau dan menaruh rasa
kasih sayang yang sangat besar kepada beliau (lihat Syarh Muslim [2/81])
Kisah ini juga memberikan pelajaran hendaknya para murid atau pengikut
memiliki perhatian dan kepedulian terhadap orang yang mereka ikuti.
Hendaknya mereka juga memikirkan tentang kemaslahatan untuknya dan
berusaha menyingkirkan mafsadat yang ditemuinya (lihat Syarh Muslim
[2/81])
Bolehnya memasuki suatu daerah/tempat milik orang lain
-termasuk juga menggunakan barang-barang yang ada di dalamnya- walaupun
tanpa ijin darinya selama dia mengetahui bahwa orang tersebut
[pemiliknya] tidak mempermasalahkan hal itu dikarenakan kedekatan
hubungan yang terjalin di antara mereka berdua. Inilah pendapat yang
dianut oleh mayoritas ulama salaf maupun ulama belakangan (lihat Syarh
Muslim [2/81])
Hendaknya seorang pemimpin mengirimkan suatu
tanda yang bisa dikenali oleh para pengikutnya demi mendatangkan
ketenangan di hati mereka (lihat Syarh Muslim [2/81]). Sebagaimana
halnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu dengan membawa sandal beliau agar para sahabat merasa
yakin tentang keselamatan beliau dan tidak perlu lagi mencemaskan
keadaannya
Bolehnya menahan penyebaran sebagian ilmu yang
dirasa kurang perlu dalam rangka kemaslahatan yang lebih besar atau
dikhawatirkan timbulnya mafsadat (lihat Syarh Muslim [2/81]). Pelajaran
serupa juga bisa kita petik dari hadits Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu’anhu tatkala berboncengan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
benar selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya -dengan
penuh kejujuran- kecuali pasti Allah haramkan dia masuk neraka.” Mu’adz
berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya saya kabarkan hadits ini
kepada orang-orang sehinga mereka merasa senang?”. Beliau menjawab,
“Kalau kamu lakukan hal itu, niscaya mereka akan bersandar (menyepelekan
amal).” Menjelang akhir hayatnya barulah Mu’adz bin Jabal menyampaikan
hadits ini karena ia khawatir terjatuh dalam perbuatan dosa -yaitu
menyembunyikan ilmu- (lihat Syarh Muslim [2/83])
Demikianlah
secuplik kisah unik yang dialami oleh sahabat Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu. Mudah-mudahan menjadi bahan pelajaran bagi kita. Dari
sini kita juga bisa memetik pelajaran tentang kedalaman ilmu para ulama
salaf dan kepahaman mereka tentang kondisi umat manusia.
Para
ulama salaf bukanlah kaum tekstualis yang hanya berkutat pada teks dalil
tanpa menganalisa hal-hal lain yang terkait dengannya -sebagaimana
tuduhan kaum Liberal-, bahkan mereka pun menyelami dampak dan pengaruh
dari suatu dalil terhadap pendengarnya. Mereka menggunakan akalnya demi
memahami dan menerapkan dalil, bukan untuk menghakimi dan
menyelewengkannya.
Wahai kaum muslimin… Ketahuilah, bahwa
kejayaan umat ini hanya akan diraih bersama manhaj salaf. Bukankah Imam
Malik rahimahullah telah mengatakan, “Tidak akan memperbaiki kondisi
akhir umat ini kecuali sesuatu yang telah berhasil memperbaiki generasi
awalnya.” Imam al-Auza’i rahimahullah juga berpesan, “Hendaklah kamu
setia dengan jejak para salaf meskipun orang-orang menolakmu. Dan
waspadalah dari pendapat akal manusia, meskipun mereka menghias-hiasinya
dengan ungkapan yang indah.”
Akankah kita membuang ucapan emas para ulama salaf dan kita telan ucapan kotor kaum sekuler dan pluralis?
Kallaa tsumma kallaa -sekali-kali tidak-…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar