Rabu, 18 Januari 2012

Syi’ah dan Sunni Beda Aqidah, Mustahil Disatukan



Pakar Syi’ah Prof. DR. Mohammad Baharun mengatakan, ia tidak pesimis jika Sunni-Syi’ah disatukan, tapi ia ingin mengatakan, tidak mungkin Sunni-Syi’ah dapat dipersatukan, sampai kapanpun. Karena hingga saat ini, belum ada contoh di dunia, dimana Sunni-Syi’ah bisa  saling kompromi dan duduk bersama.
 
“Kita memang memimpikan ukhuwah itu, tapi kita harus berpegang teguh pada akidah di atas ukhuwah. Ukhuwah penting, tapi akidah lebih penting. Dalam hal bermuamalah, boleh saja saling bekerjasama, tapi tidak sampai menodai akidah kita,” ujar Baharun dalam sebuah kajian di Masjid Darussalam, Komplek Tugu Asri, Depok, Sabtu malam (14/1).

Yang jelas, Baharun merasa gagal  memimpikan bersatunya Sunni-Syi’ah. Mengingat, sulit untuk menghapus doktrin yang sudah mendarah daging pada Syi’ah yang suka melaknat para sahabat Nabi dan istri-istrinya. Sunni memang tidak pernah mengatakan sahabat itu ma’sum, tapi bagi ahlu sunnah wal jamaah, Sahabat itu ‘Udul, proporsional, dan penerus kenabian,” papar Baharun.

Kata Baharun, bila kaum Syi’ah naik haji, mereka shalat sendiri-sendiri. Bahkan mereka tidak mau berjamaah dengan Sunni. Maka, bagaimana mungkin bisa dikompromikan. Sebagai contoh, ketika Sunni-Syi’ah duduk berjamaah. Ketika Sunni mendengar nama sahabat Rasulullah, maka akan menyebut radhiallahuanhu (ra), sementara di sebelahnya (Syi’ah) malah melaknat sahabat Rasulullah Saw, seperti Abubakar, Umar dan Utsman. Jadi bagaimana mungkin mempertemukan dua keyakinan yang memiliki perbedaan tajam itu.

Berbeda Akidah

Menurut Prof Baharun, doktrin Syi’ah itu sulit dikompromikan dengan Sunni. Karena perbedaan Sunni-Syi’ah, bukan lagi soal perbedaan khilafiyah, tapi sudah menyangkut akidah yang jauh sulit untuk dipertemukan. Sudah pernah dicoba disatukan, tapi memang tak bisa. “Saatnya kita membimbing keluarga kita untuk mengokohkan akidah yang benar, dan terhindar dari api neraka,” tandasnya.

Ketika ditanya, seorang Sunni bernama Syeikh Saltut, pernah mendekatkan Sunni-Syi’ah. Bagaimana pendapat Ustadz? Menjawab pertanyaan itu, Ustadz Baharun menjawab, pendapat Syaikh Saltut itu masih kabur. Boleh jadi, yang dimaksud Syeikh Saltut adalah Syi’ah Zaidiyah, karena  memang Syi’ah Zaidiyah dekat dengan Aswaja (ahlu sunnah wal jamaah). Terlebih, Syi’ah Zaidiyah bisa menerima kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman. “Secara prinsip, Syi’ah Zaidiyah tidak berbeda dengan Aswaja.”

Menurut Baharun, pendapat Syeikh Saltut, tidak bisa dijadikan dasar pijakan. Boleh jadi pernyataan Syeikh Saltut, Syi’ah pada zamannya belum menjadi ancaman dan tantangan. Sampai saat ini Syi’ah terus mengalami transformasi, militansi Syi’ah terus dibangun di bawah tanah (underground). Untuk kita harus cerdas.
Harus diakui, kita terlalu melempem dengan sandiwara Syi’ah selama ini. Kita juga begitu lamban merespon Syi’ah, sementara jaringan mereka sudah semakin meluas kemana-mana. Sebagai contoh, di kampus-kampus, termasuk di kampus Muhammadiyah, telah didirikan Iranian Corner.
“Sudah saatnya kita mengetahui peta dan jaringan Syi’ah. Sudah saatnya pula, kita membentengi akidah umat Islam dari bahaya Syi’ah. Kalau Syi’ah menganggap ahlusunnah itu benar, kenapa harus mencari sumber lain dari Syi’ah,” tukas Baharun.

Strategi untuk membendung bahaya Syi’ah, Ustadz Baharun mengatakan, tidak cukup hanya memberi stempel sesat, tapi harus merapatkan shaf, masalah furu ‘ tak perlu dipertentangkan. Yang kita lawan adalah akidah dulu.  Sangat disayangkan, NU dan Muhamadiyah yang diharapkan menegakkan akidah, malah mengatakan bahwa Syi’ah dan Sunni itu sama-sama berakidah Islam. “Ironisnya lagi, kini banyak ulama yang diberangkatkan ke Iran, sepulang dari Iran, ulama itu malah membela Syi’ah.”Desastian/ Senin, 16 Jan 2012 JAKARTA (vOA-Islam).

Prof. DR. Mohammad Baharun: Revolusi Iran Itu Bukan Revolusi Islam

Dalam sebuah taklim di Masjid Darussalam, Komplek Tugu Asri Depok, Sabtu Malam (14/1), pengamat Syiah Prof DR. H. Mohammad Baharun, SH, MA mengaku heran, jika banyak umat Islam terkagum-kagum dengan Revolusi Iran. Ia mempertanyakan, apakah benar Revolusi Iran itu Revolusi Islam? Kenyataannya, sejarah mencatat, Revolusi Iran justru memakan anak kandungnya sendiri. Revolusi tersebut mengorbankan ratusan manusia, mulai dari anak-anak, wanita, hingga orang tua. 


“Di Syiah, banyak kita temukan antagonism. Politik Luar Negeri yang dipropagandakan Syiah adalah anti AS. Di awal revolusi, Iran sangat anti AS dan anti Rusia, lalu dalam perkembangannya tinggal anti AS saja, dengan Rusia, Iran bisa bersahabat. Suatu ketika, bisa saja , Iran menjadi anti Rusia, kemudian berkompromi dengan AS. Itu terbukti, ketika perang Iran-Irak I, dimana Iran membeli senjata dengan AS dan Israel. Kasus itu dikenal dengan sebutan Iran Gate.

”Lebih jauh, Baharun menjelaskan, Syiah di Indonesia tidak monopolitik seperti di Iran, berbeda. Dikatakan Baharun,  Syiah di Indonesia itu terbagi tiga, yakni:  Syiah ideologi, Syiah pemikiran, dan Syiah simpatisan. Di kampus-kampus, propaganda tentang Syiah mengalami kegagalan. Terlebih, mulai banyak kader-kader Syiah mendapatkan beasiswa untuk kemudian  yang dikirim ke Iran untuk menimba ilmu tentang ke Syiah-an secara intensif.

“Sepulang dari Iran, kader-kader itu  mengembangkan Syiah di Tanah Air. Bahkan ada diantara mereka yang masuk ke parpol-parpol (partai politik),” tukas Baharun yang juga Ketua Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat. 

Dikatakan Baharun, di zaman Orde Baru, rezim yang berkuasa melakukan pendekatan keamanan untuk menjaga stabilitas. Ketika itu aliran sesat langsung dilibas. Begitu reformasi, sempalan yang tadinya tiarap, mulai unjuk gigi, seakan bangkit dari kuburnya. Bahkan, kini mereka pasang badan.

Baharun menyoalkan pernyataan seolah Syiah diterima di belahan dunia Islam. Ia mempertanyakan, dunia Islam mana yang menerima Syiah. Coba tunjukkan satu saja. Di Mesir ulama Syiah diusir, di Yordania Syiah di berangus, di Maroko dan Tunisia Syiah ditolak, di Al-Jazair Syiah juga ditolak,  di Lebanon Sunni-Syiah tidak rukun dan tegang, di Suria Sunni minoritas di libas, di Yaman pesantren Sunni dibom, di Pakistan dan Irak perang terus-menerus, di Malaysia yayasan-yayasan Syiah ditolak, di Brunei Syiah sejak awal dilarang.

“Jadi sudahlah, kita jujur dan tidak usah berdusta. Syiah bukan hanya berbeda, tapi juga menyimpang. Tak mungkin menyatukan Sunni-Syiah, pasti akan terjadi perpecahan,” ungkap Baharun yang juga Ketua Pengurus Besar (PB) Lembaga Dakwah Tarbiyah Islamiyah & Penasihat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). 

Prof Baharun yang pakar Syiah ini menegaskan, ada hal krusial ketika kaum Syiah bicara soal Imamah . Ia mempertanyakan, apa benar Muhammad  al-Asykari punya anak Imam Mahdi, apa buktinya? Tidak ada dalam sejarah. Tahu-tahu  muncul Imam Mahdi untuk menggenapkan Imam ke-12. Jika begitu, tidak menutup kemungkinan akan muncul Imam ke-13. “Kalau Imam Mahdi punya anak, lalu kemana anak Imam Mahdi itu?” tanya Baharun.

Ada asumsi, Syiah punya al-Qur’an sendiri. Jika  itu diperkarakan, sudah pasti kaum Syiah akan membantahnya. Mereka menggunakan mushaf Al Qur’an seperti kita. Itu berarti mereka menerima mushaf Utsman bin Affan, sementara Utsmannya malah dilaknat. Aneh.
  
Khawarij & Syiah Sama-sama Celaka 

Dalam sebuah seminar di Malaysia, dimana Ustadz Baharun hadir sebagai pembanding, ada upaya untuk menapak-tilasi sejarah Aswaja. Paham Aswaja itu tidak ekstrim kanan, juga tidak ekstrim kiri. Islam yang dibawa itu langsung dari tabi’it-tabi’in sampai ke Rasulullah. Dalam seminar itu direkomendasikan, paham Aswaja adalah paham yang tawasuth alias jalan tengah.

Di masa kekhalifahan Ali ra, Ali ingin melakukan tahkim kepada Muawiyah, tapi ditolak oleh sekelompok yang berada di dalam kepemimpinan Ali. Ketika itu kebijakan Khalifah Ali ditolak, Muawiyah didesak untuk dilibas. Meski Ali tetap dengan kebijakannya, namun tetap saja tahkim itu gagal. Kelompok Ali akhirnya  keluar dari barisan, hingga dikenal dengan sebutan kelompok Khawarij. Padahal khawarij itu terdiri dari orang yang taat ibadah,bahkan hafal (hafizh) Al-Qur’an.

Ketika Syiah (pengikut Ali) secara berlebihan menyanjung Ali, begitu juga dengan kelompok yang membenci Ali, maka respon Ali melihat kubu yang terpecah itu mengatakan: Celaka kedua kelompok itu, yakni: kelompok yang membenci aku secara berlebihan (khawrij) dan yang menicntai aku secara berlebihan (Syiah). 

Setelah wafatnya Ali, kelompok Khawarj sesungguhnya tidak mati. Kebencian terhada p Ali terus berlangsung, untuk membendung anak dan keturunannya menjalankan kekuasaan. Kebencian itu disebar melaui mimbar-mimbar.  Yang jelas, sisa-sisa Khawarij itu masih ada untuk membunuh karakter Ali ra.

Lebih lanjut, Ustadz Baharun menjelaskan, urusan Ali dengan Muawiyah, sesungguhnya bukan  urusan akidah dan syariah, melainkan poiltik. Surat Ali kepada Muawiyah adalah yang berkaitan dengan politik. “Sama halnya, jika di dalam keluarga kita, ada yang berada di Partai PPP, Golkar, dan partai lainnya/ Lalu apakah kita berani mengatakan orang yang berbeda secara politik itu bukan Muslim alias kafir.”

“Kata Baharun, suka nggak suka Muawiyah adalah  ipar Rasulullah Saw, karena adik Muawiyah (Habibah) adalah isteri Rasulullah Saw. Suka tidak suka, Muawiyah adalah sekretarisnya Rasulullah Saw,” ujarnya. ( Desastian, Senin, 16 Jan 2012, Voice of Al Islam on South East Asia)

Sumber : http://nahimunkar.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar