Jumat, 20 Januari 2012

Worldview Koruptor



 By: Hamid Fahmy Zarkasyi

Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar dibidang hukum dan advokat. Yang muncul disitu pertanyaan mengapa hakim dan jaksa korupsi? Padahal mereka adalah penegak hukum dan sangat luas ilmu hukumnya. Mereka adalah pejabat yang tinggi tanggung jawabnya.
Host acara itu lalu mengarahkan pertanyaan itu kepada para guru besar: Apa yang Bapak ajarkan pada mereka sehingga mereka itu korupsi? Para guru besar itupun bersungut-sungut lalu menjawab “tidak ada yang salah dalam mata kuliah mereka.” Lalu dimana letak salahnya? Mengapa demikian dst..dst. menjadi kompleks.
Mungkin jika pakar bidang administrasi Negara hadir dia akan menuding undang-undang yang lemah. Pakar ekonomi akan mengkritik gaji pegawai yang rendah. Advokat akan berkilah korupsi atau tidak itu tergantung pasalnya. Para sosiolog atau psikolog akan mungkin lebih tegas “orang korupsi karena mental pegawai”. Dibalik layar sayup-sayup para koruptor lain berguman singkat “dia lagi apes”. Itulah realitas bangsa ini.
Pendapat-pendapat diatas tentu subyekif. Namun semua pasti sepakat jika perbuatan korupsi didahului oleh pikiran yang korup. Orang pasti berfikir sebelum berbuat. Pikiran manusia itulah sebenarnya yang disebut worldview. Definisinya adalah cara pandang orang terhadap hidup dan kehidupan. Pandangan orang terhadap makna realitas dan makna kebenaran (Naquib al-Attas). Pikiran yang menjadi motor perbuatan (Alparslan).
Dari perspektif agama worldview adalah kepercayaan pada Tuhan beserta segala implikasi dan konsekuensinya dalam kehidupan. Sebab seperti ditegaskan Thomas Wall: “kepercayaan pada Tuhan adalah inti dari semua worldview”. Artinya kalau orang itu benar-benar percaya pada Tuhan dibalik harta ada rezeki, dibalik kekuasaan ada amanah, dibalik perbuatan ada dosa dan pahala. Kalau orang percaya pada Tuhan, ia pasti yakin bahwa baik-buruk, salah-benar, harta-rezeki berasal dari Tuhan. Itulah worldview.
Jika orang itu tidak percaya pada Tuhan, harta adalah harta. Di balik harta tidak ada apa-apa. Darimana asalnya dan bagaimana memperolehnya tidak penting. Yang penting setiap orang harus bertahan hidup. Hidup dengan segala cara asal tidak menyakiti sesama. Hidup hanya sekali dan setelah itu selesai. Perbuatan di dunia hanya akan berakibat di dunia. Ukuran baik-buruk, salah-benar adalah manusia penentunya. Itulah worldview koruptor.
Tapi masalahnya mengapa orang beragama masih juga korupsi? Jawaban lumrah tentu ia korup bukan karena perintah agamanya. Menurut sabda Nabi tidak ada orang mencuri dan pada saat yang sama dia beriman (al-Hadith). Lalu apakah keimanan orang tidak dapat mencegahnya dari perbuatan korupsi?
Masalahnya sungguh kompleks. Agama hanya dainggap sebagai dogma. Beragama berarti menjalankan ritual semata. Masjid, gereja dsb adalah tempatnya. Di ruang publik agama tidak boleh angkat bicara. Porno atau tidak porno tidak boleh diukur dari agama. Ambisi berpolitik tidak boleh dicampur nawaitu dalam ibadah, apalagi dicampur istighatsah.  
Disaat agama dikerdilkan, dan ketika keberagamaan dimarginalkan hasrat menjadi kaya raya merupakan tujuannya. Worldview pemeluk agama diisi oleh cara pandang materialistis, hedonistis, pragmatis, empirisistis, dan rasionalistis. Cara hidup sekuler telah mencokok arah hidup pemeluk agama-agama. Cinta harta merasuki rongga-rongga pikiran para pemeluk agama. Begitulah worldview pemeluk agama dikuasai worldview sekuler.
Akibatnya mind-set mereka berubah. Agar menjadi kaya dan hidup enak di dunia orang harus meninggalkan moral dan akhlaq ajaran agama. Yang tetap bertahan pada keimanan agamanya dianggap bodoh dan tidak cerdas.
Ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris, Maret 2010, di Nottingham saya mendengar berita menarik. Professor Richard Lynn dari Ulster University, Irlandia Utara, Professor Helmuth Nyborg dari Universitas Aarhus, Denmark dan Professor John Harvey Sussex, Inggeris, menerbitkan hasil riset mereka. Riset itu dilakukan di 137 negara di dunia, termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya mengkaji sebuah hypothesis  adanya korelasi negatif antara IQ dan Iman. Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:
Semakin bodoh seseorang  itu ia semakin religius
dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist.
Bukan hanya itu Verhage (1964) dan Bell (2002) di Belanda, Kanazawa (2009) di Amerika Serikat memperoleh hasil  serupa. Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh empat temuan. Pertama ada hubungan korelasi negative antara kecerdasan dan keimanan. Kedua, orang elit yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum. Ketiga, dikalangan pelajar semakin berumur dan semakin berilmu semakin turun keimanan mereka. Keempat, sepanjang abad dua puluh meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.
Implikasi dari hypothesis diatas jelas, orang cerdas adalah yang meninggalkan agamanya. Tapi masalahnya apakah orang tidak beragama itu karena saking cerdasnya? Jika jawabnya iya, maka matrik kecerdasannya itu hanya sebatas masalah dunia. Apakah orang yang taat beragama dan pada saat yang sama bisa hidup makmur di dunia tidak bisa dianggap lebih cerdas dari yang hanya mikir dunia saja.  
Dr.David Rosmarin, psikiatri Rumah Sakit McLean di Massachussetts menulis paper. Disitu disimpulkan orang yang percaya pada Tuhan cenderung lebih tenang dan tidak gelisah menghadapi hidup yang serba tidak pasti. (Lihat International Herald Tribune, 19 Oktober 2011, hal.8). Tentu dibanding orang yang tidak percaya Tuhan. Jika demikian maka benarlah sabda Nabi “orang cerdas (al-kaysu) adalah orang yang bekerja di dunia untuk tujuan akherat”.   Wallau A’lam 

Sumber: http://insistnet.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar